Selasa, 26 Maret 2019

KEDUDUKAN DAN TUJUAN TASAWUF DALAM ISLAM


KEDUDUKAN DAN TUJUAN TASAWUF DALAM ISLAM
MAKALAH
Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
 Pendidikan Akhlak







Di Susun Oleh:
Kelompok 6
Septi Andriani
Siti Aisyah
Siti Khotijah
Dosen Pembimbing: Saerozi, M.Pd.I
Semester: VI D


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
NURUL HIDAYAH SELATPANJANG

2019


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ajaran Tasawuf dalam Islam, memang tidak sama kedudukan hukumnya dengan rukun-rukun Iman dan rukun-rukun Islam yang sifatnya wajib, tetapi ajaran Tasawuf bersifat sunnat. Maka Ulama Tasawuf sering menamakan ajarannya dengan istilah “Fadailu al-A’mal” (amalan-amalan yang hukumnya lebih afdal), tentu saja maksudnya amalan sunnat yang utama.
Memang harus diakui bahwa tidak ada satupun ayat atau Hadith yang memuat kata Tasawuf atau Sufi, karena istilah ini baru timbul ketika Ulama Tasawuf berusaha membukukan ajaran itu, dengan bentuk ilmu yang dapat dibaca oleh orang lain. Upaya Ulama Tasawuf memperkenalkan ajarannya lewat kitab-kitab yang telah dikarangnya sejak abad ketiga Hijriyah, dengan metode peribadatan dan istilah-istilah (simbol Tasawuf) yang telah diperoleh dari pengalaman batinnya, yang memang metode dan istilah itu tidak didapatkan teksnya dalam Al-Qur’an dan Hadith. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang pengertian, kedudukan dan tujuan tasawuf dalam Islam.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut :
1)      Apa pengertian tasawuf?
2)      Bagaimana kedudukan tasawuf dalam Islam?
3)      Apa saja tujuan tasawuf dalam Islam?

C.    Tujuan
Adapun tujuannya sebagai berikut :
1)      Untuk mengetahui apa pengertian tasawuf.
2)      Untuk mengetahui bagaimana kedudukan tasawuf dalam Islam.
3)      Untuk mengetahui apa saja tujuan tasawuf dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tasawuf
Secara etimologi, kata tasawuf berasal dan bahasa Arab, yaitu tashawwafa, yatashawwafu, tashawwufan. Ulama berbeda pendapat dari mana asal-usulnya. Ada yang mengatakan dari kata Shuf (bulu domba), shaff (barisan), shafa’ (        jernih), dan shuffah (serambi Masjid Nabawi yang ditempati oleh sebagian sahabat Rasulullah SAW).  Ada yang menisbahkan tasawuf berasal dari Bahasa Yunani, yaitu shopos. Istilah ini disamakan maknanya dengan kata hikmah yang berarti kebijaksanaan.[1] Dari segi kebahasaan, tasawuf menggambarkan keadaan yang selalu berorientasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan panggilan Allah, berpola hidup sederhana, mengutamakan kebenaran, dan rela berkorban demi tujuan yang lebih mulia.
Berkenaan dengan pengertian tasawuf tersebut, berikut ini pendapat Kyai Achmad.
“Tasawuf adalah pengetahuan tentang semua bentuk tingkah laku jiwa manusia, baik yang terpuji maupun tercela; kemudian, bagaimana membersihkannya dari yang tercela itu dan menghiasinya dengan yang terpuji, bagaimana menempuh jalan kepada Allah dan berlari secepatnya menuju pada Allah. [2]
Menurut Kyai Achmad, secara substansial tasawuf mengandung dua ajaran penting. Pertama, tasawuf mengajarkan cara pembersihan jiwa dari sifat-sifat tercela/merusak dan mengisi atau menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji, sehingga menimbulkan pengaruh-pengaruh positif pada jiwa seseorang. Kedua, tasawuf mengajarkan cara/jalan yang ditempuh untuk menjadikan jiwa tersebut bisa sampai kepada Allah secepat mungkin. Dengan kata lain, tasawuf sebenarnya mengajarkan tentang materi dan cara memempuhnya.[3]
Menurut Syaikh Islam Zakaria Al-Anshari: “Tasawuf ialah ilmu yang menerangkan cara-cara mensuci bersih jiwa, memperbaiki akhlak, dan membina kesejahteraan lahir serta batin untuk mencapai kebahagiaan yang abadi.” Menurut H. M. Amin Syukur: “Tasawuf ialah system latihan dengan kesungguhan untuk mebersihkan, mempertinggi dan memperdalam aspek kerohanian dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) sehingga segala perhatian hanya tertuju kepada-Nya.”
Jadi, dapat disimpulakan bahwa tasawuf ialah usaha melatih jiwa yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, yang dapat membebaskan manusia dari pengaruh kehidupan duniawi untuk bertaqarrub kepada Tuhan sehingga jiwanya memjadi bersih, mencerminkan akhlak mulia dalam kehidupannya, dan menemukan kebahagiaan spiritualitas.[4]
B.     Kedudukan Tasawuf dalam Islam
Setiap agama memiliki potensi untuk melahirkan bentuk keagamaan yang bersifat mistik. Dalam Islam, keagamaan yang bersifat mistik itu dikenal dengan nama tasawuf. Kaum orientalis menyebutnya sufisme. Dengan tasawuf, rasa kasih dan sayang akan selalu bersemi. Hal itu dikarenakan tasawuf merupakan elemen yang tidak mengabaikan hati.
Adapun kedudukan tasawuf dalam ajaran Islam adalah sebuah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran Islam itu sendiri. Karena memang dasar rujukan dalam tasawuf adalah al-Qur’an, al-Sunnah dan al-Atsar (peninggalan) para ulama terpercaya. Meskipun terdapat beberapa pendapat yang mengatakan bahwa hal itu tidak termasuk bagian integral dari ajaran Islam, dengan mengemukakan argumentasi sebagai berikut: 1) Tidak terdapat satupun kata Tasawuf dan Sufi dalam Al-Qur’an maupun Hadith. 2) Banyak istilah Tasawuf yang sering digunakan oleh Sufi, tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan Hadith. 3) Timbulnya istilah Tasawuf  dan Sufi beserta dengan ajarannya, baru dikenal pada abad ketiga Hijriyah dan 4) Ajaran Tasawuf yang diamalkan oleh orang Islam, mirip dengan ajaran Mistik yang telah diamalkan oleh umat terdahulu.
Terlepas dari itu, Intisari dari sufisme adalah kesadaran akan adanya komunikasi rohaniah antara manusia dan Tuhan. Bahkan dalam sejarah perkembangan Islam secara menyeluruh, tasawuflah yang paling banyak merebut perhatian dan hati masyarakat. Kajian-kajian tasawuf tidak lain adalah mementingkan aktivitas untuk kebersihan batin dan kesucian jiwa, mementingkan aktivitas untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT (taqarrub) dan sampai kepada-Nya. Dengan demikian, seluruh dimensi hidup dipenuhi dengan keadaan jiwa yang selalu berdzikir mulai dari lisan, anggota tubuh, peredaran darah, pikiran (akal/rasio), dan perasaan (hati serta keseluruhan aspek kejiwaan). Inilah yang membuat hidup seseorang selalu istiqamah, stabil, penuh dengan motivasi dan optimis. 
Secara Hierarki dan kedudukannya dalam ilmu – ilmu islam, tasawuf berada pada tingkatan pembentukan akhlak dan karakter manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tasawuf adalah aspek ajaran Islam yang paling penting karena peranan tasawuf merupakan jantung atau urat nadi pelaksanaan ajaran – ajaran Islam. Tasawuf inilah yang merupakan kunci kesempurnaan amaliah ajaran Islam. Memang, di samping aspek tasawuf dalam Islam  ada aspek lain, yaitu akidah dansyariah. Dengan kata lain, yang di maksud ad – din (agama) terdiri atas Islam, iman, dan ihsan, dan ketiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan.[5]
Jadi kedudukan tasawuf dalam syari`at Islam. Pertama, sebagai metode atau jalan untuk mendapatkan kelezatan dalam beribadah, karena tasawuf dipandang sebagai salah satu metode untuk mendapatkan hal tersebut, sehingga kelezatan ibadah tidak akan didapat apabila orang-orang muslim tidak bertasawuf. Kedua, sebagai metode untuk mencapai derajat ihsan, karena tasawuf mempunyai sumber dan landasan yang kokoh, kuat dari ajaran Islam. Ketiga, tasawuf sebagai sarana memperkuat mental, ketabahan dalam beribadah. Keempat, tasawuf sebagai landasan dalam mengaplikasikan rasa syukur baik syukur secara lisan, tingkah laku atau kemantapan hati dalam melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah. Dan Kelima, tasawuf sebagai ruang untuk menilai dan mempelajari serta menelaah kelemahan diri didalam melaksanakan kewajiban atau perbuatan baik dan kesukaran dalam menjauhi serta meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Islam.[6]
C.    Tujuan Tasawuf dalam Islam
Ada beberapa tujuan dari tasawuf. Menurut A. rivay Siregar, secara umum tujuan terpenting dari sufi adalah berada sedekat mungkin dengan Allah. Akan tetapi, apabila memperhatikan karakteristik tasawuf secara umum terlihat adanya tiga sasaran “antara” dari tasawuf, yaitu sebagai berikut. Pertama, tasawuf yang bertujuan pembinaan aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkesinambungan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga manusia konsisten kepada keluhuran moral. Kedua, tasawuf yang bertujuan ma’rifatullah melalui penyimpakapan langsung. Ketiga, tasawuf yang bertujuan membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah.[7]
Tujuan akhir dari sufisme adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak mutlak Tuhan, karena dialah penggerak utama dari semua kejadian di ala mini dan penanggalan secara total semua keinginan pribadi dan melepas diri dari sifat-sifat buruk yang berkenaan dengan kehidupan duniawi serta pemusatan diri pada perenungan terhadap Tuhan semata, tiada yang dicari kecuali dia. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa ilmu tasawuf merupakan tuntunan yang dapat menyampaikan manusia mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Tasawuf ialah usaha melatih jiwa yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, yang dapat membebaskan manusia dari pengaruh kehidupan duniawi untuk bertaqarrub kepada Tuhan sehingga jiwanya memjadi bersih, mencerminkan akhlak mulia dalam kehidupannya, dan menemukan kebahagiaan spiritualitas.
Setiap agama memiliki potensi untuk melahirkan bentuk keagamaan yang bersifat mistik. Dalam Islam, keagamaan yang bersifat mistik itu dikenal dengan nama tasawuf. Kaum orientalis menyebutnya sufisme. Kajian-kajian tasawuf tidak lain adalah mementingkan aktivitas untuk kebersihan batin dan kesucian jiwa, mementingkan aktivitas untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT (taqarrub) dan sampai kepada-Nya.
Tujuan akhir dari sufisme adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak mutlak Tuhan, karena dialah penggerak utama dari semua kejadian di ala mini dan penanggalan secara total semua keinginan pribadi dan melepas diri dari sifat-sifat buruk yang berkenaan dengan kehidupan duniawi serta pemusatan diri pada perenungan terhadap Tuhan semata, tiada yang dicari kecuali dia.
B.     Saran
Kami mengharabkan kepada pembaca untuk lebih mempelajari secara mendalam tentang kedudukan dan tujuan tasawuf dalam islam, karena kami merasa makalah ini kurang lengkap dan kurang sempurna. Untuk itu kami sebagai pemapar makalah sangat mengharabkap kritikan atau saran dari kawan-kawan demi membaiknya makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim Mahmud, 2001, Tasawuf di Dunia Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Achmad Siddiq, 1999, Menghidupkan Ruh Pemikiran, Jakarta.
Samsul Munir Amin, 2017, Ilmu Tasawuf, ed. 1, cet. 4, Jakarta: Amzah.
Syamsun Ni’am, 2008, The Wisdon of K.H. Achmad Siddiq: Membumkan Tasawuf, Jakarta: Erlangga.
http://nurhayatiyaya.blogspot.com/.






[1]Samsul Munir Amin, 2017, Ilmu Tasawuf, ed. 1, cet. 4, Jakarta: Amzah, h. 3.
[2]Syamsun Ni’am, 2008, The Wisdon of K.H. Achmad Siddiq: Membumkan Tasawuf, Jakarta: Erlangga, h. 104.
[3]Ibid, h. 105.
[4]Samsul Munir Amin, op.cit, h. 8-9.
[5]Abdul Halim Mahmud, 2001, Tasawuf di Dunia Islam, Bandung: Pustaka Setia,  h. 299.
[6]Achmad Siddiq, 1999, Menghidupkan Ruh Pemikiran, Jakarta, h. 77.
[7]Samsul Munir Amin, op.cit, h. 58.

SISTEM POLITIK MENURUT ALI ASGHAR



SISTEM POLITIK MENURUT ALI ASGHAR
MAKALAH
Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pemikiran Islam Modern






Di Susun Oleh:
Afrizol
Safari
Siti Aisyah
Dosen Pembimbing: Imam Ghozali, M.Pd.I
Semester: VI D



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
NURUL HIDAYAH SELATPANJANG
2019
 BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Membicangkan relasi agama dan politik adalah proses resiprokal yang satu sama lain. Kedua entitas tersebut memiliki proses tarik menarik kepentingan. Agama memiliki peran strategis dalam mengkonstruksi dalam memberikan kerangka nilai dan norma dalam membangun struktur negara dan pendisplinan masyarakat. Sedangkan, negara menggunakan agama sebagai legitimasi dogmatik untuk mengikat warga negara untuk mematuhi negara. Adanya hubungan timbal balik itulah yang kemudian menimbulkan hubungan dominasi-saling mendominasi antar kedua entitas tersebut.
Dalam khazanah pemikiran Islam, ada beberapa paradigma yang cenderung “kritis” dalam memahami sistem Islam yang sudah terbangun ini. Namun dalam tulisan ini hanya akan diulas dua kecenderungan pemikiran Islam yang sekiranya mampu mempresentasikan keberadaan paradigma kritis Islam ini. Pertama, model “Teologi Pembebasan” nya Ali Ashghar Enginer. Teologi pembebasan menghadirkan corak pemikiran kritis, di mana nuansa pembebasan sangat dominan dalam pisau analisisnya. Oleh Karen itu, makalah ini akan membahas tentang pemikiran Ali tentang system politik Islam.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut :
1)      Biografi Ali Asghar?
2)      Bagaimanakah pemikiran Ali Asghar tentang sistem politik Islam?
C.    Tujuan
Adapun tujuannya sebagai berikut :
1)      Untuk mengetahui biografi Ali Asghar.
2)      Untuk mengetahui bagaimana pemikiran Ali Asghar tentang sistem politik Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Ali Asghar
Asghar Ali Engineer (selanjutnya disebut Asghar Ali) dilahirkan dalam lingkungan keluarga ulama ortodoks Bohro pada tanggal 10 Maret 1939 di Sulumber, Rajastan (dekat Udaipur) India.[1] Ayah Asghar Ali bernama Syeikh Qurban Husein seorang penganut kuat paham Syiah Ismailiyah. Ayahnya juga seorang sarjana Islam terpelajar yang turut membantu pendirian pimpinan ulama Bohro (daudi Bohro adalah sebuah sekte pedagang Muslim dari Gujarat). Dan ibunya bernama Maryam.
Pada masa kecilnya, Asghar Ali mendapat pendidikan Bahasa Arab, Tafsir, Hadis dan Fikih dari ayahnya dan selanjutnya mengembangkannya sendiri. Asghar Ali juga belajar semua karya-karya penting tentang dakwah Fatimiyah melalui Sayidina Hatim, Sayidin Qadi Nu‟man, Sayidina Muayyad Shirazi, Sayidina Hamiduddin Kirmani, Sayidina Hatim al-Razi, Sayidina Jafar Mansur al-Yaman, dll.
Disamping pendidikan agama, dia juga memperoleh pendidikan sekuler (umum). Dia meraih gelar insinyur di perusahaan Municipal Bombay dan kemudian secara suka rela mengundurkan diri dan terjun ke dalam gerakan pembaruan Bohra. Dia mulai memainkan peranan sebagai pemimpin dalam pembaharuan dari tahun 1972 ketika revolusi (pemberontakan) terjadi di Indiapur. Dia menulis beberapa artikel tentang gerakan reformasi pada tujuh belas surat kabar papan atas di India seperti The Time of India, India Express, Statesman, Telegraph, The Hindu, dan lain-lain. Ia juga terpilih sebagai sekretaris umum di Lembaga Komunitas Dewoodi Bohra pada konfirmasi pertamanya di Indiapur tahun 1977. Dia mencurahkan sebagian besar waktunya untuk gerakan reformasi dan telah menginternasionalkan gerakan reformasi tersebut melalui tulisan-tulisan dan pidatonya.[2]
Kemudian sejak itu, Asghar Ali Engineer terkenal. Dia juga terkenal sebagai sarjana terkemuka dalam Islam dan diundang untuk konferensi-konferensi internasional tentang Islam oleh berbagai pemerintahan dan Universitas. Asghar Ali Engineer telah memberikan kuliah di beberapa Universitas di USA, Canada, Indonesia, Malaysia, Jerman, Perancis, Thailand, Sri Langka, Pakistan, Yaman, Libanon, Switzerland, Mesir, Tokyo, Uzbekistan, Moskow, Keningred, dan lain-lain. Dia juga memberikan kuliah pada seluruh Universitas di India. Asghar Ali Engineer telah menerima beberapa penghargaan atas kerjanya dalam pemahaman antar agama. Dia secara yakin menunjukkan penghargaan yang sama terhadap seluruh agama dan menganggap bahwa keyakinan dalam agama adalah sebagai sesuatu yang sangat penting, sebuah kehidupan yang penuh makna.[3]
B.     Pemikiran Ali Ashgar Tentang Sistem Politik Islam
Secara etimologi kata “politik” berasal dari bahasa yunani, yaitu dari perkataan “polis” yang dapat mempunyai arti kota dan Negara kota. Kata “polis” tersebut berkembang menjadi kata lain seperti “politis” yang berarti warga Negara dan “politikus” yang berarti kewarganegaraan (civic).
Dalam bahasa Indonesia kata politik mempunyai beberapa pengertian, yaitu: (i) ilmu/pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan; (ii) segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan Negara atau terhadap Negara lain; dan (iii) kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah).[4]
Cita-cita politik sebagaimana dijanjikan Allah kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh dalam alquran adalah terwujudnya sebuah sistem politik. Cita-cita politik ini tersimpul dalam ungkapan “baldatun thayibatun warabbun ghafur”, yang mengandung konsep negeri sejahtera dan sentosa. Cita-cita ini merupakan ideologi Islami karena ia merupakan nilai-nilai yang diharapkan terwujud, sehingga dengan begitu diperoleh sarana dan wahana untuk aktualisasi kodrat manusia sebagai khalifah dalam membangun kemakmuran.
Pemikiran Ali Ashgar terkenal dengan nama teologi pembebasan. Engineer sendiri memiliki empat langkah dalam menjabarkan teologi pembebasannya: 1) Memulai dengan melihat kehidupan manusia di dunia dan akhirat, 2) Anti status quo yang melindungi golongan kaya (the haves) daripada golongan miskin (the haves not), baik agama maupun politik, dan 3) Teologi pembebasan memainkan peran penting dalam membela kelompok-kelompok tertindas dan membangun gerakan untuk melawan penindasan tersebut. 4) Teologi pembebasan tidak hanya mengakui satu konsep metafisika tentang takdir dalam rentang sejarah umat Islam, namun mengakui bahwa manusia bebas menentukan nasibnya sendiri.[5]
Cara pandang Islam tentang masyarakat politik yaitu bahwa manusia selaku makhluk Tuhan adaIah sama. Setiap manusia, tanpa memandang warna kulit, ras dan sukunya memiliki hak-hak politik. Asghar Ali Engineer menganggap bahwa politik semestinya tidak mengizinkan upaya-upaya yang hendak memapankan ketidakadilan dan kekuasaan tiranik yang juga adalah suatu kedzaliman. Alquran mengutuk keras sega1a bentuk kedzaliman, seperti dinyatakan; "Betapa banyak kota yang dihancurkan karena penduduknya sangat dzalim"(Qs. 22: 45).[6]
Tujuan teologis tersebut mengisyaratkan adanya pemahaman bahwa semua manusia itu sama, tidak peduli suku, bangsa, Negara, gender, karena yang pandang berbeda di sisi Allah hanyalah kadar ketaqwaannya. Ini berarti eksploitasi, penjajahan, penindasan antar manusia sangat ditentang dalam Islam. Dan keadilan sosial merupakan cita-cita Islam yang harus diwujudkan. Lebih spesifik, Islam memerintahkan umatnya untuk membebaskan manusia dari ketertindasan, baik secara sosial, politik maupun ekonomi.[7]Esensi keadilan sosial sendiri memang merunut pada bunyi Qur’an maupun Hadits yang menganjurkan untuk saling berbagi dan saling berderma demi mengurangi kesenjangan sosial maupun sebagai upaya pembersihan harta yang dinilai masih kurang bersih.
Sistem politik Islam lebih menekankan pada tiga nilai mendasar yakni: 1) egalitarianisme; 2) keadilan sosial, dan 3) kebersamaan. Adapun dalam penekanan egalitarianisme yakni mendasarkan pemikiran kepada pemahaman bahwa manusia sendiri dilahirkan pada semangat dan derajat yang sama. Artinya bahwa manusia diciptakan setara dan seimbang dan menekankan pada proses tasamuḥ (toleransi).[8] Egalitarianisme artinya  kesetaraan, persamaan derajat. Dalam hal kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai bidang yang sama dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan pendidikan, untuk mengadakan kontrak perkawinan dan perceraian, untuk mengatur harta miliknya keduanya bebas memilih profesi dan gaya hidup dan setara dalam hal kebebasan.







.








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Asghar Ali Engineer (selanjutnya disebut Asghar Ali) dilahirkan dalam lingkungan keluarga ulama ortodoks Bohro pada tanggal 10 Maret 1939 di Sulumber, Rajastan (dekat Udaipur) India.  Dari kecil ali asghar mendapat pendidikan agama dari ayahnya.
Disamping pendidikan agama, dia juga memperoleh pendidikan sekuler (umum). Dia meraih gelar insinyur di perusahaan Municipal Bombay. Dia mulai memainkan peranan sebagai pemimpin dalam pembaharuan dari tahun 1972. Dia menulis beberapa artikel tentang gerakan reformasi pada tujuh belas surat kabar papan atas di India. Kemudian sejak itu Asghar Ali Engineer terkenal. Dia juga terkenal sebagai sarjana terkemuka dalam Islam dan diundang untuk konferensi-konferensi internasional tentang Islam oleh berbagai pemerintahan dan Universitas. Asghar Ali Engineer menganggap bahwa politik semestinya tidak mengizinkan upaya-upaya yang hendak memapankan ketidakadilan dan kekuasaan tiranik yang juga adalah suatu kedzaliman.
B.     Saran
Bagi Pembaca pada umumnya, dengan mempelajari pengertian dan ruang lingkup studi agama seyogyanya dapat memberikan pengetahuan bagi pembaca dan bagi Mahasiswa sebagai calon pendidik PAI sudah seharusnya belajar dan paham berbagai pengertian dan ruang lingkup studi agama.




DAFTAR PUSTAKA

Agus Nuryanto, 2001, Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender: Studi atas Pemikiran Asghar AlEngineeri, Yogyakarta:UII Press.
Departemen P dan K, 1995,Kamus Besar Indonesia, cet. 8, Jakarta: Balai Pustaka.
Hamlan, 2014,Teologi Pembebasan (Asghar Ali Engineer),  Jurnal HIKMAH, Vol. VIII, No. 01.
M. Mukhtasar, 2000, Teologi Pembebasan Menurut Asghar Ali Engineer; Makna dan Relevansinya dalam Konteks Pluralitas Agama di Asia, Jurnal Filsafaf, Seri ke-31.
Muhaemin Latif, 2017, Teologi pembebasan dalam Islam: Asghar Ali Engineer, cet. 1, Tangerang: Orbit Publishing.
Muhamad Mustaqim, 2015, Paradigma Islam Kritis (Studi Pemikiran Teologi Pembebasan Ali Asghar dan Kiri Islam Hasan Hanafi), FIKRAH: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Vol. 3, No. 2.
Tim Penyusun Mahasiswa Pascasarjana IAIN-SU Medan, Kompilasi Makalah Pemikiran Modern dalam Islam, (buku tidak diterbitkan).
Wasisto Raharjo Jati, 2014, Agama dan Politik: Teologi Pembebasan Sebagai Arena Profetisasi Agama, Jurnal Walisongo, Vol. 22, No. 1.




[1]Agus Nuryanto, 2001, Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender: Studi atas Pemikiran Asghar AlEngineeri, Yogyakarta:UII Press, h. 7.
[2]Tim Penyusun Mahasiswa Pascasarjana IAIN-SU Medan, Kompilasi Makalah Pemikiran Modern dalam Islam, (buku tidak diterbitkan), h. 12.
[3]Hamlan, 2014,Teologi Pembebasan (Asghar Ali Engineer),  Jurnal HIKMAH, Vol. VIII, No. 01, h. 66.
[4]Departemen P dan K, 1995,Kamus Besar Indonesia, cet. 8, Jakarta: Balai Pustaka, h. 694.
[5]Muhaemin Latif, 2017, Teologi pembebasan dalam Islam: Asghar Ali Engineer, cet. 1, Tangerang: Orbit Publishing, h. 15.
[6]M. Mukhtasar, 2000, teologi pembebasan menurut asghar ali engineer; makna dan relevansinya dalam konteks pluralitas agama di asia, jurnal filsafaf, seri ke-31, h. 262.
[7]Muhamad Mustaqim, 2015, Paradigma Islam Kritis (Studi Pemikiran Teologi Pembebasan Ali Asghar dan Kiri Islam Hasan Hanafi), FIKRAH: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Vol. 3, No. 2, h. 311.
[8]Wasisto Raharjo Jati, 2014, Agama dan Politik: Teologi Pembebasan Sebagai Arena Profetisasi Agama, Jurnal Walisongo, Vol. 22, No. 1, h. 150.


WIRAUSAHA : PELUANG USAHA

BAB I PENDAHULUAN A.            Latar Belakang Seseorang yang berkemauan keras dalam melakukan suatu tindakan demi memperoleh suat...