Kamis, 31 Januari 2019

konsep normatif agama tentang budaya dan seni


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam adalah agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rahmat bagi alam semesta. Ajaran-ajarannya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia ini. Allah SWT sendiri telah menyatakan hal ini, sebagaimana yang tersebut dalam Qs. Thaha/20:2,”kami tidak menurunkan al-quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah.” Artinya bahwa umat manusia yang mau mengikuti petunjuk Al-Quran ini akan dijamin oleh Allah bahwa kehidupan manusia akan bahagia dan sejahtera dunia dan akhirat. Sebaliknya siapa saja yang membangkang dan mengingkari ajaran Islam ini, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit dan penuh penderitaan.
Ajaran-ajaran Islam yang penuh dengan kemaslahatan bagi manusia ini tentunya mencakup segala aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun bentuk kegiatan yang dilakukan manusia, kecuali Allah telah meletakkan aturan-aturannya dalam ajaran Islam ini. Seni dan budaya adalah salah satu dari sisi penting dari kehidupan manusia dan Islam pun telah mengatur dan memberikan batasan-batasannya.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut :
1)      Bagaimanakah konsep normatif agama tentang budaya dan seni ?
2)      Bagaimanakah interpretasi agama tentang budaya dan seni?

C.    Tujuan
Adapun tujuannya sebagai berikut :
1)      Untuk mengetahui bagaimanakah konsep normatif agama tentang budaya dan seni.
2)      Untuk mengetahui bagaimanakah interpretasi agama tentang budaya dan seni.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Konsep Normatif Agama Tentang Budaya dan Seni
Normatif dalam bahasa inggris “Norm” yang artinya norma, ajaran, acuan, ketentuan tentang masalah yang baik dan yang buruk, yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.[1] Kata norma dalam Bahasa Indonesia berarti ukuran untuk menentukan sesuatu. Islam Normatif adalah Islam sebagai wahyu yang bersumber dari firman Allah SWT, Islam yang diwahyukan pada Nabi Muhammad SAW untuk kedamaian dunia dan akhirat. Dalam hubungan ini kata norma erat kaitannya dengan akhlaq, yaitu perbuatan yang muncul dengan mudah dari kesadaran jiwa yang bersih dan dilakukan atas kemauan sendiri, bukan berpura-pura dan bukan pula paksaan.[2] Jadi, Islam normatif adalah Islam ideal yang mengacu kepada ketentuan-ketentuan didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam pandangan Islam normatif kemurnian Islam dipandang secara tekstual berdasarkan Alqur’an dan Hadits.[3]
Secara umum konsep Islam berangkat dua pola hubungan yaitu hubungan secara vertikal yakni dengan Allah SWT dan hubungan dengan sesama manusia. Hubungan yang pertama berbentuk tata agama (ibadah), sedang hubungan kedua membentuk sosial (muamalah). Sosial membentuk masyarakat, yang jadi wadah kebudayaan.[4] Konsep tersebut dalam penerapannya tidak terlepas dari tujuan pembentukan hukum Islam secara umum, yaitu menjaga kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Lebih spesifik lagi, tujuan agama ialah selamat diakhirat dan selamat ruhaniah dunia. Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Di sisi lain budaya-budaya lokal yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya lokal ini sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan tersebut kemudian yang menurut Mark Woodward melahirkan yang dinamakan “akulturasi budaya”, antara budaya lokal dan Islam.
Islam sendiri sebagai agama yang memiliki materi ajaran yang integral dan komprehensif, disamping mengandung ajaran utama sebagai syari'ah, juga memotivasi umat Islam untuk mengembangkan seni budaya Islam, yaitu seni budaya yang mencerminkan nilai-nilai Islam. Seni budaya memperoleh perhatian yang serius dalam Islam karena mempunyai peran yang sangat penting untuk membumikan ajaran utama sesuai dengan kondisi dan kebutuhan hidup umat manusia. Al-Qur'an memandang seni budaya sebagai suatu proses, dan meletakkan seni budaya sebagai eksistensi hidup manusia. Seni budaya merupakan suatu totalitas kegiatan manusia yang meliputi kegiatan akal, hati dan tubuh yang menyatu dalam suatu perbuatan. Seni budaya Islam adalah hasil olah akal, budi, cipta rasa, karsa, dan karya manusia yang berlandaskan pada nilai-nilai tauhid.[5]
Sebagai sebuah proses, seni budaya erat kaitannya dengan pendidikan. Karena secara teoritis pendidikan adalah sebagian dari proses pembudayaan, namun demikian dalam praktek kehidupan tidaklah demikian halnya. Seni budaya berkenaan dengan keahlian untuk menghasilkan sesuatu dalam bentuk tulisan, percakapan, dan benda bermanfaat yang indah.[6] Atau dengan bahasa yang lebih mudah, seni budaya dalam pandangan Seyyed Hosen Nasr diartikan sebagai keahlian mengekspresikan ide dan pemikiran estetika dalam penciptaan benda, suasana atau karya yang mampu menimbulkan rasa indah dengan berdasar dan merujuk pada al-Qur'an dan Hadits.[7] Meski merujuk kepada sumber pokok Islam, akan tetapi Islam sendiri tidak menentukan bentuk dari seni Islam melainkan juga berkait erat dengan seni budaya yang berkembang pada suatu masyarakat.
Dari penjelasan di atas dapat diambil pemahaman bahwasanya Islam sama sekali tidak menolak tradisi atau budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dalam penetapan hukum Islam dikenal salah satu cara melakukan ijtihad yang disebut urf, yakni penetapan hukum dengan mendasarkan pada tradisi yang berkembang dalam masyarakat. Dengan cara ini berarti tradisi dapat dijadikan dasar penetapan hukum Islam dengan syarat tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang tertuang dalam al-Quran dan hadits Nabi Saw.
B.     Interpretasi Agama Tentang Budaya dan Seni
Interpretasi adalah pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoretis terhadap sesuatu.  Allah SWT meyakinkan manusia tentang ajaran-Nya dengan menyentuh hati mereka melalui seni yang ditampilkan Al-Qur'an, yakni melalui kisah-kisahnya yang nyata atau simbol yang dipadu oleh imajinasi, melalui gambaran-gambaran konkrit dari idea abstrak yang dipaparkan dalam bahasa seni yang mencapai puncaknya. Al-Qur'an menjadikan kisah sebagai salah satu sarana pendidikan yang sejalan dengan pandangannya tentang alam, manusia dan kehidupan. Maka pada saat seseorang menggunakan kisah sebagai sarana pendidikan, seni dan hiburan dengan tujuan memperhalus budi, mengingatkan tentang jati diri manusia, menggambarkan akibat baik atau buruk dari satu pengalaman, maka pada saat itu, seni yang ditampilkannya adalah seni yang bernafaskan Islam, walaupun dicelah-celah kisahnya ia melukiskan kelemahan manusia dalam batas dan penampilan yang tidak mengundang kejatuhan manusia.[8]
Baik agama maupun kebudayaan, sama-sama memberikan wawasan dan cara pandang dalam mensikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Misalnya, dalam menyambut anak yang baru lahir, bila agama memberikan wawasan untuk melaksanakan aqiqah, sementara kebudayaan yang dikemas dalam marhaban dan bacaan berjanji memberikan wawasan dan cara pandang lain, tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu mendoakan kesolehan anak yang baru lahir agar sesuai dengan harapn ketuhanan dan kemanusiaan. Demikian juga dalam tahlilan, baik agama maupun budaya lokal dalam tahlilan sama-sama saling memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapi orang yang meninggal.
Islam datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang tidak bermanfaat dan membawa madharat di dalam kehidupannya. Sehingga islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaa.
Sebagai instrumen budaya, pendidikan seni merupakan pranata sosial yang berisi aturan-aturan atau norma-norma untuk melatih (membelajarkan) anak, dan berkat latihan (belajar) itu anak atau individu anggota masyarakat dintegrasikan ke dalam kebudayaannya . Proses pendidikan itu dapat berlangsung atau terselenggara secara formal (di sekolah), non-formal (di masyarakat), dan informal (dalam keluarga) yang dikenal sebagai tripusat pendidikan. Perbedaaan penyelenggaraan pendidikan itu, tentu memunculkan sistem penyelanggaraan yang berbeda pula, meskipun substansinya mengarah pada esensi yang sama, yaitu menjadikan individu sebagai anggota masyarakat yang memiliki kepribadian dan kesadaran untuk bersikap dan berperilaku sesusai dengan kebudayaan yang menyelimutinya.[9]
Seni budaya adalah fitrah, kemampuan berseni dan berbudaya merupakan salah satu perbedaan manusia dengan makhluk lain. Jika demikian, Islam sebagai agama fitrah akan mendukung seni budaya selama penampilannya lahir dan mendukung fitrah manusia yang suci itu, dan karena itu pula Islam bertemu dengan seni budaya dalam jiwa manusia, sebagaimana seni budaya ditemukan oleh jiwa manusia di dalam Islam.[10]
Memahami Islam dengan pendekatan normatif memiliki dampak positif dan negatif. Sisi positifnya antara lain: seseorang akan memiliki militansi beragama yang tinggi (berpegang teguh terhadap agama yang diyakininya sebagai yang benar), membentuk karakter pemeluknya dalam rangka membangun masyarakat yang ideal menurut pesan dari agama, dan menghasilkan orang-orang yang berkomitmen tinggi terhadap kepercayaan. Adapun dampak negatif dari memahami Islam dengan pendekatan normatif adalah tertanamnya sifat eksklusif (ketika seseorang meyakini sesuatu dengan kebenaran yang mutlak dan meyakini orang lain salah, maka ia akan menjadi pribadi yang tertutup, tidak mau menerima pendapat dan pemahaman orang lain, dan seterusnya. Orang-orang yang memahami Islam dengan hal itu akan “menutup” dirinya dari kebenaran yang dibawa orang lain), dogmatis (pokok ajaran yang harus diterima sebagai hal yang baik dan benar, tidak perlu dipertanyakan lagi, tidak boleh dibantah dan diragukan. Orang-orang yang memahami Islam dengan hal itu cenderung menganggap ajarannya sebagai ajaran yang tidak boleh dipertanyakan lagi kebenarannya, tidak boleh dikritisi dan dipertanyakan lagi), kaku dan cenderung tidak mau mengakui kebenaran orang lain.[11]
Dalam hal pendidikan,  para ahli pendidikan dan antropologi sepakat bahwa seni budaya adalah dasar terbentuknya kepribadian manusia, dari seni budaya dapat terbentuk identitas seseorang, identitas suatu masyarakat dan identitas suatu bangsa.[12] Bahkan Ramesh Garta dari Kakatiya University mengatakan: "Bangsa yang menggusur pendidikan seni dari kurikulum sekolahnya akan menghasilkan generasi yang berbudaya kekerasan di masa depan karena kehilangan kepekaan untuk membedakan nuansa baik dan indah dengan buruk dan tidak indah".
Mengacu pada tujuan pendidikan dalam upaya pengembangan kehidupan sebagai pribadi, anak didik sekurang-kurangnya dibiasakan berperilaku yang baik dan juga didasari untuk berkepribadian yang mantap dan mandiri. Salah satu cara membentuk anak didik mandiri dan percaya diri adalah memperkenalkan mereka pada seni budaya.
Kesenian dan kebudayaan penting artinya bagi siswa terutama bagi pertumbuhan jiwa dan pikiran. Ketajaman perasaan manusia tak terasah bila tanpa pengalaman keindahan suatu karya seni dan kearifan serta kedalaman makna dan nilai suatu budaya. Melalui pendidikan kesenian dan kebudayaan anak didik dapat berolah rasa. Kemampuan mengolah rasa seseorang diyakini mampu menjadi sumber pengendalian diri juga dapat dijadikan sarana mengasah kecerdasan spiritual anak didik.
Syekh Abdulhalim Mahmud menyatakan bahwa bukti terkuat tentang wujud Tuhan terdapat dalam rasa manusia, bukan pada akalnya. Hal ini bukan berarti pemikiran logis tidak mengambil peran dalam pendidikan agama, akan tetapi persoalan keyakinan lebih banyak didominasi fungsi rasa/afeksi. Oleh karenya, al-quran menegaskan bahwa untuk mencetak manusia paripurna dalam hal kecerdasannya perlu mengembangkan 3 hal pokok, yaitu rasa, akal dan iman. Proses kreatif yang dapat menghantarkan seorang muslim mencapai kualitas tertinggi sebagai ulul albab (manusia cerdas), yaitu yang telah berhasil mengolah rasa dengan kontemplatif, akal dengan berfikir logis dan didasarkan pada keimanan (tunduk dan syukur).
Jadi, intinya baik agama (kehidupan beragama) maupun kehidupan seni budaya manusia, keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu merupakan potensi fitrah (pembawaan) manusia, bertumbuh dan berkembang secara terpadu bersama-sama dalam proses kehidupan manusia secara nyata di muka bumi, dan secara bersama pula menyusun suatu sistem budaya dan peradaban suatu masyarakat/ bangsa.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari semua uraian yang telah dibahas diatas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : Agama (Islam) bersumberkan wahyu dan memiliki norma-norma sendiri. Karena bersifat normatif, maka cenderung menjadi permanen. Sedangkan budaya adalah buatan manusia. Oleh sebab itu ia berkembang sesuai dengan perkembangan Islam dan Kebudayaan zaman dan cenderung untuk selalu berubah. Sehingga budaya Islam adalah budaya yang berdasar pada nilai-nilai Islam yaitu al-Qur’an dan Hadis.
Memahami Islam dengan pendekatan normatif memiliki dampak positif dan negatif. Baik agama maupun kebudayaan, sama-sama memberikan wawasan dan cara pandang dalam mensikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Maka Islam normatif dapat diartikan sebagai paham bahwa ajaran Islam adalah wahyu yang berasal dari Tuhan, wajib diyakini, diterima sebagai kebenaran mutlak yang tidak boleh diganggu gugat.
Jadi, intinya baik agama (kehidupan beragama) maupun kehidupan seni budaya manusia, keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu merupakan potensi fitrah (pembawaan) manusia, bertumbuh dan berkembang secara terpadu bersama-sama dalam proses kehidupan manusia secara nyata di muka bumi, dan secara bersama pula menyusun suatu sistem budaya dan peradaban suatu masyarakat/ bangsa.
B.     Saran
Semoga dengan selesainya tugas makalah ini dapat kita dapat mengambil ibrahnya, dan dapat mengetahui tentang konsep normatif agama tentang budaya dan seni, sehingga kita dapat menambah wawasan lebih luas terhadap pengembangan budaya dan seni dalam PAI.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996.
Ecnolos, John M dan Hasan Shadili, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia, cet. VIII, 1980.
Ensiklopedia Nasional Indonesia, Jakarta : PT Cipta Adi Pustaka, Jilid 14, 1989.
Gazalba, Sidi, Masyarakat Islam; Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, cet. II, Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
Hernowo, Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Mengajar Secara Kreatif, Bandung: Mizan, 2006.
Leaman, Oliver, Estetika Islam: Menafsirkan Seni dan Keindahan, terj. Irfan Abubakar, lslamic Aestbetics, Bandung: Mizan, 2005.
Nasr, Seyyed Hossein, Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Sutejo, lslamic Art and Spirituatity, Bandung: Mizan, 1993.
Nasution, KhoiruddinPengantar Studi Islam, Yogyakarta: ACAdeMIA+ TAZZAFA, 2009.
Nata, Abudin, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo, 2001.
Qutb, Muhammad, Manhaj al-Fann at-Islami, Beirut: Dar asy-Syuruq, 1993.
Saidah, Nur, Pendidikan Agama Islam Dan Pengembangan Seni Budaya Islam, Jurnal Pendidikan Agama Islam, vol. V, no. 1, 2008.
Triyanto, Pendekatan Kebudayaan dalam Penelitian Pendidikan Seni, Jurnal Imajinasi, Vol. XII No 1, Semarang: Unnes, 2018.



[1] John M. Ecnolos dan Hasan Shadili, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia, cet. VIII, 1980, 396.
[2] Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo, 2001, 28.
[3] Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: ACAdeMIA+ TAZZAFA, 2009, 15.
[4] Sidi Gazalba, Masyarakat Islam; Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, cet. II, Jakarta: Bulan Bintang, 1989, 106.
[5]Nur Saidah, Pendidikan Agama Islam Dan Pengembangan Seni Budaya Islam, Jurnal Pendidikan Agama Islam, vol. V, no. 1, 2008, 44.
[6]Ensiklopedia Nasional Indonesia, Jakarta : PT Cipta Adi Pustaka, Jilid 14, 1989, 525.
[7]Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Sutejo, lslamic Art and Spirituatity, Bandung: Mizan, 1993, 14.
[8]Muhammad Qutb, Manhaj al-Fann at-Islami, Beirut: Dar asy-Syuruq, 1993, 9.
[9]Triyanto, Pendekatan Kebudayaan dalam Penelitian Pendidikan Seni, Jurnal Imajinasi, Vol. XII No 1, Semarang: Unnes, 2018, 70.
[10]Oliver Leaman, Estetika Islam: Menafsirkan Seni dan Keindahan, terj. Irfan Abubakar, lslamic Aestbetics, Bandung: Mizan, 2005, 3.
[11] Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996, 34.
[12]Hernowo, Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Mengajar Secara Kreatif, Bandung: Mizan, 2006, 73.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WIRAUSAHA : PELUANG USAHA

BAB I PENDAHULUAN A.            Latar Belakang Seseorang yang berkemauan keras dalam melakukan suatu tindakan demi memperoleh suat...