TINJAUAN TEORETIK
PADA ANAK YANG BERKESULITAN BELAJAR;
PERAN
TEORI DALAM PENANGANAN ANAK BERKESULITAN BELAJAR, DIAGNOSIS KESULITAN BELAJAR,
BELAJAR DAN HASIL BELAJAR
MAKALAH
Dibuat
Untuk Merevisi Tugas Mata Kuliah
Diagnosis
Kesulitan Belajar
Di Susun Oleh:
Siti Aisyah
Dosen Pembimbing: Surahman, M.Pd.I
Semester:
IV D
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
NURUL HIDAYAH SELATPANJANG
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Proses belajar merupakan hal yang kompleks, di mana siswa
sendiri yang menentukan terjadi atau tidak terjadinya aktivitas atau perbuatan
belajar. Dalam rangka pengembangan potensi diri, setiap siswa mempunyai
kemampuan yang berbeda-beda. Ada siswa yang dapat mencapainya tanpa kesulitan,
namun tidak sedikit siswa mengalami banyak kesulitan.
Guru atau pembimbing berperan membantu memecahkan masalah yang
pada peserta didik sebagaimana ajaran islam melarang memberikan kesulitan
melainkan menunjukkan kepada hal kemudahan. Allah SWT berfirman: berbunyi: yang
artinya: “Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki tidak menghendaki kesukaran bagimu. (Q.S Al-Baqarah
:185), maka diagnosis bertujuan untuk mengetahui dimana letak kesulitan
belajar yang dihadapi oleh siswa serta untuk mencari pemecahannya. Oleh karena
itu, guru perlu memiliki pengetahuan teoritik yang dapat digunakan sebagai
bekal dalam menciptakan strategi pembelajaran yang tidak hanya efektif untuk
mencapai tujuan pembelajaran tetapi juga efektif untuk membangun kepribadian
yang sehat untuk anak. Untuk menangani anak yang bekesulitan
belajar memerlukan pemahaman tentang 1) peran teori dalam penanganan anak
bekesulitan belajar, 2) prosedur dan prinsip diagnosis, dan 3) pengertian tentang
proses dan hasil belajar dan berbagai teori tentang proses belajar.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peranan Teori dalam Penanganan Anak
Berkesulitan Belajar
Teori
adalah sekumpulan bangunan pengertian atau konsep, definisi, dan dalil yang
saling terkait, yang memungkinkan terbentuknya suatu gambaran yang sistematik
tentang fenomena dengan menjelaskan hubungan antar berbagai variable, dengan
tujuan menjelaskan dan meramalkan fenomena tersebut.[1]
Dalam mendidik anak berkesulitan belajar membutuhkan teori yang dapat digunakan
sebagai landasan yang dapat diandalkan untuk memecahkan masalah-masalah
pendidikan anak. Teori digunakan untuk menjelaskan fenomena kesulitan belajar,
meramalkan peristiwa yang mungkin terjadi, dan untuk mengontrol atau mengendalikan
agar kesulitan belajar tidak terjadi atau bertambah parah.
Menurut Ary, Jacobs, dan Rezaviech, teori
ilmiah merupakan penjelasan sementara tentang fenomena. Melalui teori ilmiah kita
dapat memberikan penjelasan, peramalan, dan pengendalian tentang suatu fenomena. Dengan demikian, teori ilmiah tentang anak yang
berkesulitan belajar dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena kesulitan
belajar, meramalakan peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi jika suatu
perlakuan digunakan, dan dapat digunakan untuk mengontrol atau mengendalikan
agar fenomena kesulitan belajar tidak terjadi atau bertambah parah.
Menurut Jujun S. Suriasumantri, ilmu
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok ilmu murni dan kelompok ilmu
terapan. Berbeda dengan ilmu terapan yang diarahkan langsung untuk memecahkan
masalah dalam kehidupan sehari-hari, ilmu murni umumnya belum dapat digunakan
untuk memecahkan masalah seperti itu. Meskipun demikian, jika ilmu terapan
gagal memecahkan suatu masalah yang dihadapi, maka ilmu tersebut akan melihat
kembali landasan ilmu murninya. Ini tidak berati bahwa ilmu terapan bukan ilmu
yang otonom atau ilmu yang berdiri sendiri, karena baik ilmu terapan maupun
ilmu murni memiliki objek formal yang berbeda meskipun mungkin objek materinya
sama.
Menurut Jujun S. Suariasumantri ,
ilmu pendidikan merupakan ilmu terapan yang mengaplikasikan tiga ilmu sosial
psikolog, sosiologi, dan antropologi. Ilmu pendidikan memiliki objek materi
yang sama dengan ilmu murninya yaitu manusia, tetapi memiliki bidang telaah
yang berbeda dari ilmu murninya yaitu pendidikan. Oleh karena itu, ilmu
pendidikan adalah ilmu yang berdiri sendiri, dalam memecahkan masalah-masalah
kependidikan sering diperlukan pendekatan multidisipliner yang melibatkan berbagai
ilmu yang terkait. Pendidikan bagi anak yang berkesulitan belajar merupakan
bagian dari ilmu pendidikan khusus atau sering disebut juga ortopedagogik dan
merupakan cabang ilmu pendidikan atau pedagogik. Ilmu pendidikan khusus berusaha
membangun teori-teorinya sendiri. Meskipun demikian, ilmu pendidikan khusus
yang terkait dengan pendidikan bagi anak bekesulitan belajar, banyak menjalin
kerjasama dengan berbagai ilmu lain, terutama psikologi dan ilmu kedokteran.[2]
B.
Diagnosis Kesulitan Belajar
Diagnosis kesulitan belajar adalah suatu usaha yang
dilakukan untuk meneliti kasus, menemukan penyebab timbulnya masalah serta
usaha untuk menemukan letak dan jenis kesulitan belajar yang dialami siswa dan
menetapkan kemungkinan-kemungkinan bantuan yang akan diberikan sehingga siswa
yang bersangkutan terlepas dari kesulitan yang dialaminya.[3] Koestor Parto Wisasto dan A. Hadi Suparto mengemukakan:
“Suatu masalah belajar itu ada kalau seorang siswa itu jelas tidak memenuhi
harapan-harapan yang disyaratkan kepadanya oleh sekolah, baik harapan-harapan
yang tercampur sebagai tujuan-tujuan formil dari kurikulum maupun
harapan-harapan yang ada didalam pandangan atau anggapan dari pada guru dan
kepala sekolah”.[4]
Dalam melakukan diagnostik kesulitan belajar siswa, perlu
ditempuh langkah-langkah sebagai berikut : pertama,
melakukan observasi kelas untuk melihat perilaku menyimpang siswa ketika
mengikuti pelajaran. Kedua, memeriksa
penglihatan dan pendengaran sisswa khususnya yang diduga mengalami kesulitan
belajar. Ketiga, mewawancarai
orangtua atau wali untuk mengetahui hal-hal keluarga siswa yang mungkin
menimbulkan kesulitan belajar. Keempat,
memberikan tes diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat
kesulitan belajar yang dialami siswa. Kelima,
memberikan tes kemampuan intelegensi (IQ) khususnya kepada siswa yang diduga
mengalami kesulitan belajar.[5]
Diagnosis kesulitan belajar juga dapat ditempuh dalam beberapa
tahapan kegiatan meliputi: 1) Mengidentifikasi siswa yang diperkirakan
mengalami kesulitan belajar; 2) Melokalisasikan kesulitan belajar; 3)
Menentukan faktor penyebab kesulitan belajar; 4) Memperkirakan alternatif
bantuan; 5) Menetapkan kemungkinan cara mengatasinya; dan 6) Tindak lanjut.[6]
Menurut Samuel A. Kirk, prosedur diagnosis mencakup lima
langkah, 1) menentukan potensi atau kapasitas anak, 2) menentukan
taraf kemampuan dalam suatu bidang studi yang memerlukan pengajaran remedial,
3) menentukan gejala kegagalan dalam suatu bidang studi, 4) menganalisis
faktor-faktor yang terkait, dan 5) menyusun rekomendasi untuk pengajaran
remedial.[7]Dalam konteks anak belajar di
sekolah, disamakan mengikuti pedoman yang mencakup tujuh langkah yaitu:
1) Identifikasi, pelaksanaan
identifikasi dapat dilakukan dengan memperhatikan laporan guru kelas atau
sekolah sebelumnya, hasil tes intelegensi yang dilakukan secara massal atau
individual, atau melalui instrumen informal, misalnya dalam bentuk lembar
observasi guru atau orang tua. Berdasarkan informasi tersebut sekolah dapat
memperkirakan berapa jumlah anak yang memerlukan pelayanan pengajaran remedial.
Berdasarkan data tersebut juga dapat digunakan untuk mengelompokkan anak,
berapa yang tergolong ringan yang dapat dilayani oleh guru reguler, berapa yang tergolong sedang, dan berapa yang
tergolong berat yang memerlukan pelayanan dari guru remedial, yaitu guru khusus
yang memiliki keahlian dibidang pendidikan bagi anak berkesulitan belajar.
2) Menentukan
prioritas, sekolah
perlu menentukan prioritas anak mana yang diperkirakan dapat diberi pelayanan
pengajaran remedial oleh guru kelas atau guru bidang studi, dan anak mana yang
perlu dilayani oleh guru khusus. Anak-anak berkesulitan belajar yang tergolong
berat mungkin perlu memperoleh prioritas utama untuk memperoleh pelayanan
pengajaran remedial yang sistematis dari guru khusus remedial.
3) Menentukan potensi,
potensi anak biasanya didasarkan atas sekor tes intelegensi. Tes intelegensi
yang paling banyak digunakan adalah WISCR (Wechsler
Intelegence Scale for Children-Revised). Jika dari hasil tes tersebut anak
memiliki skor IQ 70 kebawah, maka anak semacam itu dapat digolongkan ke dalam
kelompok anak tunagrahita tidak memerlukan pelayanan pengajaran remedial di
sekolah biasa, tetapi seluruh program pengajaran harus disesuaikan dengan
potensi anak tersebut. Jika hasil tes intelegensi menunjukkan bahwa anak
memiliki skor IQ 71 hingga 89, maka anak
semacam itu tergolong lamban belajar, yang mungkin secara terus-menerus memerlukan bantuan agar dapat mengikuti
program pendidikan yang didasarkan atas kriteria normal. Yang dapat digolongkan
anak berkesulitan belajar ialah yang memiliki skor IQ rata-rata atau lebih,
yaitu paling rendah skor IQ 90.
4) Menentukan penguasaan bidang studi
yang perlu diremidialiasi, guru remedial perlu memiliki data
tentang prestasi belajar anak dan membandingkan prestasi belajar tersebut
dengan taraf intelegensinya. Jika prestasi belajar anak menyimpang jauh di
bawah kapasitas intelegensinya maka tidak dapat dikelompokkan sebagai anak
berkesulitan belajar. Ditinjau dari sudut statistika, yang dimaksud dengan
penyimpangan yang jauh dibawah rata-rata adalah dua simpangan baku di bawah
rata-rata (mean).
5) Menentukan gejala kesulitan,
pada langkah ini guru remidial perlu
melakukan observasi dan analisis cara anak belajar. Cara anak mempelajari suatu
bidang studi sering dapat memberikan informasi diagnostik tentang sumber
penyebab yang orisinal dari suatu kesulitan. Gejala kesulitan tersebut dapat
digunakan sebagai landasan dalam menentukan diagnosis, yang selanjutnya dapat
digunakan sebagai landasan dalam menentukan strategi pembelajaran yang sesuai.
6) Analisis berbagai faktor yang
terkait, pada langkah ini guru remedial perlu, melakukan
analisis hasil-hasil pemeriksaan ahli-ahli lain seperti psikolog, dokter,
konselor, dan pekerja sosial. Berdasarkan hasil analisis terhadap hasil
pemeriksaan berbagai bidang keahlian dan mengaitkan mereka dengan hasil
observasi yang dilakukan sendiri, guru remedial dapat menegakkan suatu
diagnosis yang diharapkan dapat digunakan sebagai landasan dalam menentukan
strategi pengajaran remedial yang efektif dan efisien.
7) Menyusun rekomendasi untuk pen
gajaran remedial, berdasarkan hasil diagnosis yang secara
cermat ditegakkan, guru remedial dapat menyusun suatu rekomendasi
penyelenggaraan program pengajaran remedial bagi seorang anak yang berkesulitan
belajar. Rekomendasi tersebut mungkin dapat dalam bentuk suatu program
pendidikan yang individual (individualized
education programs) , yang pelaksanaannya
perlu dievaluasi lebih dahulu oleh suatu tim penilai program pendidikan
individual (TP31).[8]
Selain prosedur, ada beberapa prinsip diagnosis yang perlu
diperhatikan oleh guru bagi anak berkesulitan belajar yakni:
1) Terarah
pada perumusan metode perbaikan, diagnosis sebaiknya mengumpulkan
berbagai informasi yang bermanfaat untuk menyusun suatu program perbaikan atau
program pengajaran remedial. Ada dua tipe diagnosis, diagnosis etiologis (etiological diagnosis) dan diagnosis
terapetik (therapeutic diagnosis).
Diagnosis etiologis merupakan diagnosis yang bertujuan untuk mengetahuai sumber
penyebab orisinal dari kesulitan belajar. Diagnosis ini umumnya kurang
bermanfaat untuk merumuskan program remedial. Diagnosis terapetik merupakan
diagnosis yang berkaitan langsung dengan kondisi anak pada saat sekarang dan
sangat bermanfaat untuk menyusun program pengajaran remedial.
2) Diagnosis
harus efesien,
diagnosis hendaknya berlangsung sesuai dengan derajat kesulitan anak. Evaluasi
rutin, termasuk evaluasi psikologis, dapat memberikan informasi diagnostic yang
berharga.
3) Penggunaan
catatan kumulatif,
catatan kumulatif dibat sepanjang tahun kehidupan anak disekolah. Catatan
semacam itu dapat meberikan informasi yang sangat berharga dalam pengajaran
remedial. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai landasan untuk menentukan
pengelompokan yang sesuai dengan tingkat kesulitan belajar anak.
4) Valid
dan reliable,
dalam melakukan diagnosis hendaknya dilakukan instrument yang
dapat mengukur apa yang harusnya diukur (valid)
dan instrument tersebut hendaknya juga yang dapat diandalkan (reliable). Informasi yang dikumpulkan
hendaknya hanya yang tepat, yang dapat dijadikan landasan dalam menentukan
program pengajaran remedial.
5) Penggunaan
tes baku, tes
baku adalah tes yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya. Berbagai tes
psikologis, terutama tes inteligensi, umumnya merupakan tes baku yang telah diuji
validitas dan reliabilitas. Tetapi tidak demikian, halnya dengan tes prestasi
belajar yang umumnya buatan guru.
6) Penggunaan
prosedur informal, meskipunn tes-tes baku umumnya mampu
memberikan informasi yang lebih tepat dan efisien, penggunaan prosedur informal
sering memberikan manfaat yang bermakna. Guru seharusnya memiliki perasaan
bebas untuk melakukan evaluasi dan tidak terlalu terikat secara kaku oleh tes
baku.
7) Kuantitatif,
keputusan – keputusan dalam diagnosis kesulitann belajar hendaknya didasarkan
pada pola – pola skor atau dalam bentuk angka. Bila informasi tentang kesulitan
belajar telah dikumpulkan, maka informasi tersebut harus disusun sedemikian
rupa sehingga skor- skor dapat dibandingkan. Hal ini sangat berguna untuk
mengetahui kesenjangan antara potensi dengan prestasi belajar anak saat
pengajaran remedial akan dimulai.
8) Diagnosis
dilakukan secara berkesinambungan, kadang – kadang anak
gagal mencapai tujuan pengajaran remedial yang telah dikembangkan berdasarkan
hasil diagnosis. Dalam keadaan semacam ini perlu dilakukan diagnosis ulang
untuk landasan penyusunan program pengajaran rmedial yang lebih efektif dan
efisein.[9]
C.
Belajar dan Hasil Belajar
Abdurrahman mengatakan bahwa ”belajar merupakan proses dari
seorang individu yang berupaya mencapai tujuan belajar atau yang disebut hasil
belajar, yaitu suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif menetap”.[10]Slameto
mendefinisikan belajar sebagai suatu proses usaha yang dilakukan seseorang
untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,
sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Baharuddin belajar merupakan aktivitas yang dilakukan seseorang untuk
mendapatkan perubahan dalam dirinya melalui pelatihan-pelatihan atau
pengalaman-pengalaman.[11]
Santrock dan Yussen mendefinisikan belajar sebagai perubahan
yang relatif bersifat permanen karena adanya pengalaman. Reber mendefinisikan
belajar dalam dua pengertian. Pertama, belajar sebagai proses memperoleh
pengetahuan dan kedua, belajar sebagai perubahan kemampuan bereaksi yang
relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat.[12]
Menurut Syaiful Bahri Jamarah belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga
untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman
individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif
dan psikomotor.[13]
Dari definisi-definisi yang dikemukakan diatas, dapat
dikemukakan adanya beberapa elemen yang penting yang mencirikan pengertian
tentang belajar yaitu Belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku,
perubahan yang terjadi melalui latihan atau pengalaman, untuk dapat dikatakan
belajar perubahan itu harus relatif mantap/menetap dan tingkah laku yang
mengalami perubahan karena belajar menyangkut berbagai aspek kepribadian, baik
fisik maupun psikis, seperti: perubahan dalam berfikir, kecakapan kebiasaan
ataupun sikap.[14]
Belajar adalah hal yang penting
bagi setiap orang yang ingin selalu dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan
zaman. Selain itu belajar merupakan perintah wajib dari Allah SWT. Didalam
Al-Qur’an surah Al-Alaq, Allah SWT memerintahkan kita untuk terus belajar (Iqra’) atau bacalah! Membaca adalah
ujung tombak dari belajar.[15] Dan
dalam hadits Rasulullah bersabda “ menuntut
ilmu itu wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan”.
Menurut Morris L. Bigge ada dua kelompok teori tenteng
belajar, yaitu teori kelompok sebelum abad ke-20 dan kelompok teori belajar
abad ke-20. Kelompok teori belajar sebelum abad ke-20 terdiri dari tiga macam, pertama teori disiplin mental. Menurut kelompok
teori disiplin mental, proses belajar terjadi jika mental anak didisiplin atau
dilatih. Metode latihan dan resitasi merupakan perwujudan dari teori tersebut.
Kedua teori aktualisasi diri memandang
manusia sebagai makhluk yang pada dasarnya baik dan mampu mengarahkan diri.
Menurut teori ini, manusia menjadi buruk karna pengaruh lingkungan social. Oleh
karna itu, guru hendaknya membe rikan kebebasan kepada anak dalam belajar.
Bantuan kepada anak hendaknya hanya diberikan bila anak mengalami kesulitan.
Menurut teori ini, kegiatan belajar hendaknya tidak memaksa anak tetapi
merupakan pengalaman yang menyenangkan. Tokkoh-tokoh dari teori ini ialah
J.JRousseau, F.Frobel dan Progressivists.
Ketiga teori apersepsi sering disebut juga
Herbartianisme karna tokoh dari teori ini ialah J.F. Herbart. Apersepsi adalah
suatu proses menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah ada
dalam diri anak. Menurut teori apersepsi, proses balajar dipandang sebagai
proses menghubungkan atau asosiasi pengetahuan baru dengan pengetahuan yang
telah dikuasai anak.[16]
Kelompok teori belajar abad ke-20 terdiri dari dua kelompok
pula, pertama teori S_R (stimulus-responses) conditioning. Teori Conditioning tanpa ulangan penguatan
atau sering disebut celassical conditioning
memandang belajar sebagai suatu proses pembentukan reflex bersyarat (a process of building conditioned reflexes)
melalui penggantian rangsangan yang satu dengan rangsangan yang lain. Contiguity
berarti bahwa stimulus yang muncul pada saat yang bersamaan dengan munculnya
suatu respons jika diulang cenderung menimbulkan respons tersebut.
Kedua teori kognitif, belajar adalah
proses pencapaian atau perubahan pemahaman, pandangan, harapan atau pola
pemikiran. Menurut Piaget ada empat
tahapan perkembangan kognitif yaitu : 1) Tahap sensorik – motorik (0-2 tahun), 2)
Tahap pra-operasional ( 2-7), 3) Tahap
konkrit operasional ( 7-11) dan 4) Tahap formal-operasional (11 Tahun). Menurut
teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik bila materi pelajaran yang
baru beradaptasi (bersinambung) secara tepat dan serasi dengan struktur
kognitif yang telah dimiliki siswa. Jadi, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri
seorang individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan
lingkungan. Misalnya : ketika seseorang membaca suatu bahan bacaan, maka yang
dibacanya bukan huruf-huruf yang terpisah-pisah, melainkan kata, kalimat, atau
paragraf yang kesemuanya seolah menjadi satu, mengalir, dan menyerbu secara
total bersamaan.[17] Bertolak dari pembahasan tentang
berbagai teori tentang proses belajar seperti yang telah dikemukakan dapat
disimpulkan bahwa belajar merupakan
suatu proses dari seorang yang berusaha memperoleh bentuk prilaku yang
relative menetap.
Dalam setiap pembelajaran pasti adanya hasil belajar. Interaksi
antara pendidik dengan peserta didik yang dilakukan secara sadar, terencana
baik didalam maupun di luar ruangan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik
ditentukan oleh hasil belajar. Sebagaimana dikemukakan oleh Hamalik, bahwa
perubahan tingkah laku pada orang dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak
mengerti menjadi mengerti, dan dari belum mampu kearah sudah mampu.[18]
Adapun hasil belajar menurut Bloom dalam Purwanto yang
menggolongkan kedalam tiga ranah yang perlu diperhatikan dalam setipa proses
belajar mengajar. Tiga ranah tersebut adalah ranah kognitif, efektif, dan
psikomotor. Menurut Dimyati, hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi
tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri
dengan proses evaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan
berakhirnya penggal dan puncak proses belajar.[19]
Menurut A.J Romiszowski hasil belajar merupakan
keluaran(output) dari suatu system pemrosesan masukan (input). Masukan dari
system tersebut berupa bermacam- macam informasi sedangkan keluarannya
adalah perbuatan atau kinerja. hasil
belajar dapat dikelompokkan kedalam dua macam saja yaitu pengetahuan dan
keterampilan. Pengetahuan terdiri dari empat kategori, yaitu: 1) Pengetahuan
tentang fakta, 2) Pengertahuan tentang prosedur, 3) Pengetahuan tentang konsep
dan 4) Pengetahuan tentang prinsip. Keterampilan juga terdiri dari empat
kategori yaitu: 1) Keterampilan untuk berfikir atau keterampilan kognitif, 2) Keterampilan untuk bertindak atau keterampilan motorik, 3) Keterampilan
bereaksi atau bersikap dan 4) Keterampilan berintegrasi.[20]
Pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
merupakan perubahan perilaku seorang peserta didik dalam kegiatan pembelajaran.
Dengan demikian, penilaian hasil belajar siswa mencakup segala hal yang
dipelajari di sekolah, baik itu menyangkut pengetahuan, sikap, dan keterampilan
yang berkaitan dengan mata pelajaran yang diberikan kepada siswa.
Menurut Keller, hasil belajar dipengaruhi oleh besarnya
usaha yang dilakukan oleh anak juga dipengaruhi oleh intelegensi dan penguasaan
awal anak tentang materi yang akan dipelajari. Hasil belajar yang dipengaruhi
oleh besarnya usaha yang dicurahkan. Intelegensi, dan kesempatan yang di
berikan kepada anak , pada gilirannya berpengaruh
terhadap konsekuensi dari hasil belajar tersebut. Konsekuensi atas hasil
belajar tidak hanya dipengaruhi oleh hasil belajar itu sendiri tetapi juga oleh
ulangan penguatan yang diberikan oleh lingkunagn sosial, terutama guru atau
orang tua. Oleh karena itu,pemberian ulangan penguatan yang wajar dan adil
merupakan bagian yang sangat penting dalam kegiatan pembelajaran,lebih-lebih
bagi anak yang berkesulitan belajar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teori adalah sekumpulan bangunan
pengertian atau konsep, definisi, dan dalil yang saling terkait. Adapun prosedur diagnosis
kesulitan belajar yakni: identifikasi, menentukan prioritas, menentukan
potensi, menentukan penguasaan bidang studi yang perlu diremidialiasi,
menentukan gejala kesulitan, analisis berbagai faktor yang terkait dan menyusun
rekomendasi untuk pen gajaran remedial. Prinsip diagnosis yakni: terarah pada perumusan metode
perbaikan, diagnosis harus efesien, penggunaan catatan kumulatif, valid dan
reliable, penggunaan tes baku, penggunaan prosedur informal, kuantitatif dan
diagnosis dilakukan secara berkesinambungan.
Belajar
merupakan perubahan tingkah laku. Ada dua kelompok teori tentang
belajar, yaitu kelompok teori belajar sebelum abad ke-20 terdiri dari tiga macam:
teori disiplin mental, teori aktualisasi diri dan teori apersepsi. Kelompok
teori belajar abad ke-20 terdiri dari dua kelompok pula: teori S_R (stimulus-responses) conditioning dan teori
kognitif. Hasil belajar atau achievement
adalah
kemampuan yang diperoleh setelah melalui proses belajar.
B. Saran
Semoga dengan selesainya makalah ini
kita dapat mengambil ibrahnya, dan dapat mengetahui tentang tinjauan teoritik tentang anak berkesulitan
belajar, sehingga kita dapat menambah wawasan
lebih luas terhadap diagnosis
kesulitan belajar.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdurrahman,
Mulyono, Anak Berkesulitan Belajar Teori,
Diagnosis dan Remediasinya, Rineka Cipta, Jakarta, 2012.
Abdurrahman,
Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan
Belajar, Rineka Cipta, Jakarta, 1999.
Afandi, Muhamad, dkk, Model Dan Metode Pembelajaran Di Sekolah, Unissula
Press, Semarang, 2013.
Daharnis, Diktat
Jurusan Psikologi Pendidikan, IKIP, Padang, 1998.
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran,
Rineka Cipta, Jakarta, 1999.
Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.
Partowisasto, Koestoer dan A. Hadi Suparto, Diagnosa dan Pemecahan Kesulitan Belajar,
Erlangga, Jakarta, 1986.
Purwanto,
M. Ngalim, Psikilogi Pendidikan, cet.
23, PT. Remaja Rosdakarya Offset, Bandung , 2007.
Sugiyanto, Psikologi
Pendidikan: Belajar dan Pembelajaran,
Yogyakarta.
Tohirin,
Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam (Berbasis Integrasi dan Kompetensi), ed. revisi, cet. 5, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2014
Trisnayadi,
Tuwuh, Bimbingan Karier untuk Pelajar
Muslim, Erlangga, Jakarta, 2013.
Warkitri, dkk, Penilaian Pencapaian Hasil Belajar, Universitas Terbuka, Jakarta,
1998.
[1] Mulyono
Abdurrahman, Anak Berkesulitan Belajar
Teori, Diagnosis dan Remediasinya, Rineka Cipta, Jakarta, 2012, h. 11.
[4] Koestoer Partowisasto dan A. Hadi Suparto, Diagnosa dan Pemecahan Kesulitan Belajar,
Erlangga, Jakarta, 1986, h. 46.
[5]Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam (Berbasis Integrasi dan Kompetensi), ed. revisi, cet. 5, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2014, h. 166.
[11] Muhamad
Afandi, dkk, Model dan Metode Pembelajaran di Sekolah, Unissula Press, Semarang, 2013, h. 1.
[14] M. Ngalim Purwanto, Psikilogi Pendidikan, cet. 23, PT.
Remaja Rosdakarya Offset, Bandung , 2007,
h. 85.
[19]Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Rineka Cipta, Jakarta,
1999, h. 3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar