Kamis, 31 Januari 2019

DIAGNOSIS KESULITAN BELAJAR



 TINJAUAN TEORETIK PADA ANAK YANG BERKESULITAN BELAJAR;
PERAN TEORI DALAM PENANGANAN ANAK BERKESULITAN BELAJAR, DIAGNOSIS KESULITAN BELAJAR, BELAJAR DAN HASIL BELAJAR
MAKALAH
Dibuat Untuk Merevisi Tugas Mata Kuliah
Diagnosis Kesulitan Belajar






Di Susun Oleh:
Siti Aisyah
Dosen Pembimbing: Surahman, M.Pd.I
Semester: IV D



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
NURUL HIDAYAH SELATPANJANG
1438 H/2018 M













BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Proses belajar merupakan hal yang kompleks, di mana siswa sendiri yang menentukan terjadi atau tidak terjadinya aktivitas atau perbuatan belajar. Dalam rangka pengembangan potensi diri, setiap siswa mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Ada siswa yang dapat mencapainya tanpa kesulitan, namun tidak sedikit siswa mengalami banyak kesulitan.
Guru atau pembimbing berperan membantu memecahkan masalah yang pada peserta didik sebagaimana ajaran islam melarang memberikan kesulitan melainkan menunjukkan kepada hal kemudahan. Allah SWT berfirman: berbunyi: yang artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki tidak menghendaki kesukaran bagimu. (Q.S Al-Baqarah :185), maka diagnosis bertujuan untuk mengetahui dimana letak kesulitan belajar yang dihadapi oleh siswa serta untuk mencari pemecahannya. Oleh karena itu, guru perlu memiliki pengetahuan teoritik yang dapat digunakan sebagai bekal dalam menciptakan strategi pembelajaran yang tidak hanya efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran tetapi juga efektif untuk membangun kepribadian yang sehat untuk anak. Untuk menangani anak yang bekesulitan belajar memerlukan pemahaman tentang 1) peran teori dalam penanganan anak bekesulitan belajar, 2) prosedur dan prinsip diagnosis, dan 3) pengertian tentang proses dan hasil belajar dan berbagai teori tentang proses belajar.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Peranan Teori dalam Penanganan Anak Berkesulitan Belajar
Teori adalah sekumpulan bangunan pengertian atau konsep, definisi, dan dalil yang saling terkait, yang memungkinkan terbentuknya suatu gambaran yang sistematik tentang fenomena dengan menjelaskan hubungan antar berbagai variable, dengan tujuan menjelaskan dan meramalkan fenomena tersebut.[1] Dalam mendidik anak berkesulitan belajar membutuhkan teori yang dapat digunakan sebagai landasan yang dapat diandalkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan anak. Teori digunakan untuk menjelaskan fenomena kesulitan belajar, meramalkan peristiwa yang mungkin terjadi, dan untuk mengontrol atau mengendalikan agar kesulitan belajar tidak terjadi atau bertambah parah.
Menurut Ary, Jacobs, dan Rezaviech, teori ilmiah merupakan penjelasan sementara tentang fenomena. Melalui teori ilmiah kita dapat memberikan penjelasan, peramalan, dan pengendalian tentang suatu fenomena. Dengan demikian, teori ilmiah tentang anak yang berkesulitan belajar dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena kesulitan belajar, meramalakan peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi jika suatu perlakuan digunakan, dan dapat digunakan untuk mengontrol atau mengendalikan agar fenomena kesulitan belajar tidak terjadi atau bertambah parah.
Menurut Jujun S. Suriasumantri, ilmu dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok ilmu murni dan kelompok ilmu terapan. Berbeda dengan ilmu terapan yang diarahkan langsung untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, ilmu murni umumnya belum dapat digunakan untuk memecahkan masalah seperti itu. Meskipun demikian, jika ilmu terapan gagal memecahkan suatu masalah yang dihadapi, maka ilmu tersebut akan melihat kembali landasan ilmu murninya. Ini tidak berati bahwa ilmu terapan bukan ilmu yang otonom atau ilmu yang berdiri sendiri, karena baik ilmu terapan maupun ilmu murni memiliki objek formal yang berbeda meskipun mungkin objek materinya sama.
Menurut Jujun S. Suariasumantri , ilmu pendidikan merupakan ilmu terapan yang mengaplikasikan tiga ilmu sosial psikolog, sosiologi, dan antropologi. Ilmu pendidikan memiliki objek materi yang sama dengan ilmu murninya yaitu manusia, tetapi memiliki bidang telaah yang berbeda dari ilmu murninya yaitu pendidikan. Oleh karena itu, ilmu pendidikan adalah ilmu yang berdiri sendiri, dalam memecahkan masalah-masalah kependidikan sering diperlukan pendekatan multidisipliner yang melibatkan berbagai ilmu yang terkait. Pendidikan bagi anak yang berkesulitan belajar merupakan bagian dari ilmu pendidikan khusus atau sering disebut juga ortopedagogik dan merupakan cabang ilmu pendidikan atau pedagogik. Ilmu pendidikan khusus berusaha membangun teori-teorinya sendiri. Meskipun demikian, ilmu pendidikan khusus yang terkait dengan pendidikan bagi anak bekesulitan belajar, banyak menjalin kerjasama dengan berbagai ilmu lain, terutama psikologi dan ilmu kedokteran.[2]
B.     Diagnosis Kesulitan Belajar
Diagnosis kesulitan belajar adalah suatu usaha yang dilakukan untuk meneliti kasus, menemukan penyebab timbulnya masalah serta usaha untuk menemukan letak dan jenis kesulitan belajar yang dialami siswa dan menetapkan kemungkinan-kemungkinan bantuan yang akan diberikan sehingga siswa yang bersangkutan terlepas dari kesulitan yang dialaminya.[3] Koestor Parto Wisasto dan A. Hadi Suparto mengemukakan: “Suatu masalah belajar itu ada kalau seorang siswa itu jelas tidak memenuhi harapan-harapan yang disyaratkan kepadanya oleh sekolah, baik harapan-harapan yang tercampur sebagai tujuan-tujuan formil dari kurikulum maupun harapan-harapan yang ada didalam pandangan atau anggapan dari pada guru dan kepala sekolah”.[4]
Dalam melakukan diagnostik kesulitan belajar siswa, perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut : pertama, melakukan observasi kelas untuk melihat perilaku menyimpang siswa ketika mengikuti pelajaran. Kedua, memeriksa penglihatan dan pendengaran sisswa khususnya yang diduga mengalami kesulitan belajar. Ketiga, mewawancarai orangtua atau wali untuk mengetahui hal-hal keluarga siswa yang mungkin menimbulkan kesulitan belajar. Keempat, memberikan tes diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat kesulitan belajar yang dialami siswa. Kelima, memberikan tes kemampuan intelegensi (IQ) khususnya kepada siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar.[5]
Diagnosis kesulitan belajar juga dapat ditempuh dalam beberapa tahapan kegiatan meliputi: 1) Mengidentifikasi siswa yang diperkirakan mengalami kesulitan belajar; 2) Melokalisasikan kesulitan belajar; 3) Menentukan faktor penyebab kesulitan belajar; 4) Memperkirakan alternatif bantuan; 5) Menetapkan kemungkinan cara mengatasinya; dan 6) Tindak lanjut.[6]
Menurut Samuel A. Kirk, prosedur diagnosis mencakup lima langkah, 1) menentukan potensi atau kapasitas anak, 2) menentukan taraf kemampuan dalam suatu bidang studi yang memerlukan pengajaran remedial, 3) menentukan gejala kegagalan dalam suatu bidang studi, 4) menganalisis faktor-faktor yang terkait, dan 5) menyusun rekomendasi untuk pengajaran remedial.[7]Dalam konteks anak belajar di sekolah, disamakan mengikuti pedoman yang mencakup tujuh langkah yaitu:
1)      Identifikasi, pelaksanaan identifikasi dapat dilakukan dengan memperhatikan laporan guru kelas atau sekolah sebelumnya, hasil tes intelegensi yang dilakukan secara massal atau individual, atau melalui instrumen informal, misalnya dalam bentuk lembar observasi guru atau orang tua. Berdasarkan informasi tersebut sekolah dapat memperkirakan berapa jumlah anak yang memerlukan pelayanan pengajaran remedial. Berdasarkan data tersebut juga dapat digunakan untuk mengelompokkan anak, berapa yang tergolong ringan yang dapat dilayani oleh guru reguler,  berapa yang tergolong sedang, dan berapa yang tergolong berat yang memerlukan pelayanan dari guru remedial, yaitu guru khusus yang memiliki keahlian dibidang pendidikan bagi anak berkesulitan belajar.
2)      Menentukan prioritas, sekolah perlu menentukan prioritas anak mana yang diperkirakan dapat diberi pelayanan pengajaran remedial oleh guru kelas atau guru bidang studi, dan anak mana yang perlu dilayani oleh guru khusus. Anak-anak berkesulitan belajar yang tergolong berat mungkin perlu memperoleh prioritas utama untuk memperoleh pelayanan pengajaran remedial yang sistematis dari guru khusus remedial.
3)      Menentukan potensi, potensi anak biasanya didasarkan atas sekor tes intelegensi. Tes intelegensi yang paling banyak digunakan adalah WISCR (Wechsler Intelegence Scale for Children-Revised). Jika dari hasil tes tersebut anak memiliki skor IQ 70 kebawah, maka anak semacam itu dapat digolongkan ke dalam kelompok anak tunagrahita tidak memerlukan pelayanan pengajaran remedial di sekolah biasa, tetapi seluruh program pengajaran harus disesuaikan dengan potensi anak tersebut. Jika hasil tes intelegensi menunjukkan bahwa anak memiliki skor  IQ 71 hingga 89, maka anak semacam itu tergolong lamban belajar, yang mungkin secara terus-menerus memerlukan bantuan agar dapat mengikuti program pendidikan yang didasarkan atas kriteria normal. Yang dapat digolongkan anak berkesulitan belajar ialah yang memiliki skor IQ rata-rata atau lebih, yaitu paling rendah skor IQ 90.
4)      Menentukan penguasaan bidang studi yang perlu diremidialiasi, guru remedial perlu memiliki data tentang prestasi belajar anak dan membandingkan prestasi belajar tersebut dengan taraf intelegensinya. Jika prestasi belajar anak menyimpang jauh di bawah kapasitas intelegensinya maka tidak dapat dikelompokkan sebagai anak berkesulitan belajar. Ditinjau dari sudut statistika, yang dimaksud dengan penyimpangan yang jauh dibawah rata-rata adalah dua simpangan baku di bawah rata-rata (mean).
5)      Menentukan gejala kesulitan, pada langkah ini guru remidial perlu melakukan observasi dan analisis cara anak belajar. Cara anak mempelajari suatu bidang studi sering dapat memberikan informasi diagnostik tentang sumber penyebab yang orisinal dari suatu kesulitan. Gejala kesulitan tersebut dapat digunakan sebagai landasan dalam menentukan diagnosis, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan dalam menentukan strategi pembelajaran yang sesuai.
6)      Analisis berbagai faktor yang terkait, pada langkah ini guru remedial perlu, melakukan analisis hasil-hasil pemeriksaan ahli-ahli lain seperti psikolog, dokter, konselor, dan pekerja sosial. Berdasarkan hasil analisis terhadap hasil pemeriksaan berbagai bidang keahlian dan mengaitkan mereka dengan hasil observasi yang dilakukan sendiri, guru remedial dapat menegakkan suatu diagnosis yang diharapkan dapat digunakan sebagai landasan dalam menentukan strategi pengajaran remedial yang efektif dan efisien.
7)      Menyusun rekomendasi untuk pen gajaran remedial, berdasarkan hasil diagnosis yang secara cermat ditegakkan, guru remedial dapat menyusun suatu rekomendasi penyelenggaraan program pengajaran remedial bagi seorang anak yang berkesulitan belajar. Rekomendasi tersebut mungkin dapat dalam bentuk suatu program pendidikan yang individual (individualized education programs) , yang pelaksanaannya perlu dievaluasi lebih dahulu oleh suatu tim penilai program pendidikan individual (TP31).[8]
Selain prosedur, ada beberapa prinsip diagnosis yang perlu diperhatikan oleh guru bagi anak berkesulitan belajar yakni:
1)      Terarah pada perumusan metode perbaikan, diagnosis sebaiknya mengumpulkan berbagai informasi yang bermanfaat untuk menyusun suatu program perbaikan atau program pengajaran remedial. Ada dua tipe diagnosis, diagnosis etiologis (etiological diagnosis) dan diagnosis terapetik (therapeutic diagnosis). Diagnosis etiologis merupakan diagnosis yang bertujuan untuk mengetahuai sumber penyebab orisinal dari kesulitan belajar. Diagnosis ini umumnya kurang bermanfaat untuk merumuskan program remedial. Diagnosis terapetik merupakan diagnosis yang berkaitan langsung dengan kondisi anak pada saat sekarang dan sangat bermanfaat untuk menyusun program pengajaran remedial.
2)      Diagnosis harus efesien, diagnosis hendaknya berlangsung sesuai dengan derajat kesulitan anak. Evaluasi rutin, termasuk evaluasi psikologis, dapat memberikan informasi diagnostic yang berharga.
3)      Penggunaan catatan kumulatif, catatan kumulatif dibat sepanjang tahun kehidupan anak disekolah. Catatan semacam itu dapat meberikan informasi yang sangat berharga dalam pengajaran remedial. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai landasan untuk menentukan pengelompokan yang sesuai dengan tingkat kesulitan belajar anak.
4)      Valid dan reliable, dalam melakukan diagnosis hendaknya dilakukan instrument yang dapat mengukur apa yang harusnya diukur (valid) dan instrument tersebut hendaknya juga yang dapat diandalkan (reliable). Informasi yang dikumpulkan hendaknya hanya yang tepat, yang dapat dijadikan landasan dalam menentukan program pengajaran remedial.
5)      Penggunaan tes baku, tes baku adalah tes yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya. Berbagai tes psikologis, terutama tes inteligensi, umumnya merupakan tes baku yang telah diuji validitas dan reliabilitas. Tetapi tidak demikian, halnya dengan tes prestasi belajar yang umumnya buatan guru.
6)      Penggunaan prosedur informal, meskipunn tes-tes baku umumnya mampu memberikan informasi yang lebih tepat dan efisien, penggunaan prosedur informal sering memberikan manfaat yang bermakna. Guru seharusnya memiliki perasaan bebas untuk melakukan evaluasi dan tidak terlalu terikat secara kaku oleh tes baku.
7)      Kuantitatif, keputusan – keputusan dalam diagnosis kesulitann belajar hendaknya didasarkan pada pola – pola skor atau dalam bentuk angka. Bila informasi tentang kesulitan belajar telah dikumpulkan, maka informasi tersebut harus disusun sedemikian rupa sehingga skor- skor dapat dibandingkan. Hal ini sangat berguna untuk mengetahui kesenjangan antara potensi dengan prestasi belajar anak saat pengajaran remedial akan dimulai.
8)      Diagnosis dilakukan secara berkesinambungan, kadang – kadang anak gagal mencapai tujuan pengajaran remedial yang telah dikembangkan berdasarkan hasil diagnosis. Dalam keadaan semacam ini perlu dilakukan diagnosis ulang untuk landasan penyusunan program pengajaran rmedial yang lebih efektif dan efisein.[9]

C.    Belajar dan Hasil Belajar
Abdurrahman mengatakan bahwa ”belajar merupakan proses dari seorang individu yang berupaya mencapai tujuan belajar atau yang disebut hasil belajar, yaitu suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif menetap”.[10]Slameto mendefinisikan belajar sebagai suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Baharuddin belajar merupakan aktivitas yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan perubahan dalam dirinya melalui pelatihan-pelatihan atau pengalaman-pengalaman.[11]
Santrock dan Yussen mendefinisikan belajar sebagai perubahan yang relatif bersifat permanen karena adanya pengalaman. Reber mendefinisikan belajar dalam dua pengertian. Pertama, belajar sebagai proses memperoleh pengetahuan dan kedua, belajar sebagai perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat.[12] Menurut Syaiful Bahri Jamarah belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif dan psikomotor.[13]
Dari definisi-definisi yang dikemukakan diatas, dapat dikemukakan adanya beberapa elemen yang penting yang mencirikan pengertian tentang belajar yaitu Belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku, perubahan yang terjadi melalui latihan atau pengalaman, untuk dapat dikatakan belajar perubahan itu harus relatif mantap/menetap dan tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut berbagai aspek kepribadian, baik fisik maupun psikis, seperti: perubahan dalam berfikir, kecakapan kebiasaan ataupun sikap.[14]
 Belajar adalah hal yang penting bagi setiap orang yang ingin selalu dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Selain itu belajar merupakan perintah wajib dari Allah SWT. Didalam Al-Qur’an surah Al-Alaq, Allah SWT memerintahkan kita untuk terus belajar (Iqra’) atau bacalah! Membaca adalah ujung tombak dari belajar.[15] Dan dalam hadits Rasulullah bersabda “ menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan”.
Menurut Morris L. Bigge ada dua kelompok teori tenteng belajar, yaitu teori kelompok sebelum abad ke-20 dan kelompok teori belajar abad ke-20. Kelompok teori belajar sebelum abad ke-20 terdiri dari tiga macam, pertama teori disiplin mental. Menurut kelompok teori disiplin mental, proses belajar terjadi jika mental anak didisiplin atau dilatih. Metode latihan dan resitasi merupakan perwujudan dari teori tersebut.  
Kedua teori aktualisasi diri memandang manusia sebagai makhluk yang pada dasarnya baik dan mampu mengarahkan diri. Menurut teori ini, manusia menjadi buruk karna pengaruh lingkungan social. Oleh karna itu, guru hendaknya membe rikan kebebasan kepada anak dalam belajar. Bantuan kepada anak hendaknya hanya diberikan bila anak mengalami kesulitan. Menurut teori ini, kegiatan belajar hendaknya tidak memaksa anak tetapi merupakan pengalaman yang menyenangkan. Tokkoh-tokoh dari teori ini ialah J.JRousseau, F.Frobel dan Progressivists.
Ketiga teori apersepsi sering disebut juga Herbartianisme karna tokoh dari teori ini ialah J.F. Herbart. Apersepsi adalah suatu proses menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah ada dalam diri anak. Menurut teori apersepsi, proses balajar dipandang sebagai proses menghubungkan atau asosiasi pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dikuasai anak.[16]
Kelompok teori belajar abad ke-20 terdiri dari dua kelompok pula, pertama teori S_R (stimulus-responses) conditioning.  Teori Conditioning tanpa ulangan penguatan atau sering disebut celassical conditioning memandang belajar sebagai suatu proses pembentukan reflex bersyarat (a process of building conditioned reflexes) melalui penggantian rangsangan yang satu dengan rangsangan yang lain. Contiguity berarti bahwa stimulus yang muncul pada saat yang bersamaan dengan munculnya suatu respons jika diulang cenderung menimbulkan respons tersebut.
Kedua teori kognitif, belajar adalah proses pencapaian atau perubahan pemahaman, pandangan, harapan atau pola pemikiran. Menurut Piaget  ada empat tahapan perkembangan kognitif yaitu : 1) Tahap sensorik – motorik (0-2 tahun), 2) Tahap pra-operasional ( 2-7), 3) Tahap konkrit operasional ( 7-11) dan 4) Tahap formal-operasional (11 Tahun). Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi (bersinambung) secara tepat dan serasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Jadi, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Misalnya : ketika seseorang membaca suatu bahan bacaan, maka yang dibacanya bukan huruf-huruf yang terpisah-pisah, melainkan kata, kalimat, atau paragraf yang kesemuanya seolah menjadi satu, mengalir, dan menyerbu secara total bersamaan.[17] Bertolak dari pembahasan tentang berbagai teori tentang proses belajar seperti yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan  suatu proses dari seorang yang berusaha memperoleh bentuk prilaku yang relative menetap.
Dalam setiap pembelajaran pasti adanya hasil belajar. Interaksi antara pendidik dengan peserta didik yang dilakukan secara sadar, terencana baik didalam maupun di luar ruangan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik ditentukan oleh hasil belajar. Sebagaimana dikemukakan oleh Hamalik, bahwa perubahan tingkah laku pada orang dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan dari belum mampu kearah sudah mampu.[18]
Adapun hasil belajar menurut Bloom dalam Purwanto yang menggolongkan kedalam tiga ranah yang perlu diperhatikan dalam setipa proses belajar mengajar. Tiga ranah tersebut adalah ranah kognitif, efektif, dan psikomotor. Menurut Dimyati, hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya penggal dan puncak proses belajar.[19]
Menurut A.J Romiszowski hasil belajar merupakan keluaran(output) dari suatu system pemrosesan masukan (input). Masukan dari system tersebut berupa bermacam- macam informasi sedangkan keluarannya adalah  perbuatan atau kinerja. hasil belajar dapat dikelompokkan kedalam dua macam saja yaitu pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan terdiri dari empat kategori, yaitu: 1) Pengetahuan tentang fakta, 2) Pengertahuan tentang prosedur, 3) Pengetahuan tentang konsep dan 4) Pengetahuan tentang prinsip. Keterampilan juga terdiri dari empat kategori yaitu: 1) Keterampilan untuk berfikir atau keterampilan kognitif, 2) Keterampilan untuk bertindak atau keterampilan motorik, 3) Keterampilan bereaksi atau bersikap dan 4)  Keterampilan berintegrasi.[20]
Pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan perubahan perilaku seorang peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, penilaian hasil belajar siswa mencakup segala hal yang dipelajari di sekolah, baik itu menyangkut pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang berkaitan dengan mata pelajaran yang diberikan kepada siswa.
Menurut Keller, hasil belajar dipengaruhi oleh besarnya usaha yang dilakukan oleh anak juga dipengaruhi oleh intelegensi dan penguasaan awal anak tentang materi yang akan dipelajari. Hasil belajar yang dipengaruhi oleh besarnya usaha yang dicurahkan. Intelegensi, dan kesempatan yang di berikan kepada anak  , pada gilirannya berpengaruh terhadap konsekuensi dari hasil belajar tersebut. Konsekuensi atas hasil belajar tidak hanya dipengaruhi oleh hasil belajar itu sendiri tetapi juga oleh ulangan penguatan yang diberikan oleh lingkunagn sosial, terutama guru atau orang tua. Oleh karena itu,pemberian ulangan penguatan yang wajar dan adil merupakan bagian yang sangat penting dalam kegiatan pembelajaran,lebih-lebih bagi anak yang berkesulitan belajar.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Teori adalah sekumpulan bangunan pengertian atau konsep, definisi, dan dalil yang saling terkait. Adapun prosedur diagnosis kesulitan belajar yakni: identifikasi, menentukan prioritas, menentukan potensi, menentukan penguasaan bidang studi yang perlu diremidialiasi, menentukan gejala kesulitan, analisis berbagai faktor yang terkait dan menyusun rekomendasi untuk pen gajaran remedial. Prinsip diagnosis yakni: terarah pada perumusan metode perbaikan, diagnosis harus efesien, penggunaan catatan kumulatif, valid dan reliable, penggunaan tes baku, penggunaan prosedur informal, kuantitatif dan diagnosis dilakukan secara berkesinambungan.
Belajar merupakan perubahan tingkah laku. Ada dua kelompok teori tentang belajar, yaitu kelompok teori belajar sebelum abad ke-20 terdiri dari tiga macam: teori disiplin mental, teori aktualisasi diri dan teori apersepsi. Kelompok teori belajar abad ke-20 terdiri dari dua kelompok pula: teori S_R (stimulus-responses) conditioning dan teori kognitif. Hasil belajar atau achievement adalah kemampuan yang diperoleh setelah melalui proses belajar.
B.     Saran
Semoga dengan selesainya makalah ini kita dapat mengambil ibrahnya, dan dapat mengetahui tentang tinjauan teoritik tentang anak berkesulitan belajar, sehingga kita dapat menambah wawasan lebih luas terhadap diagnosis kesulitan belajar.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdurrahman, Mulyono, Anak Berkesulitan Belajar Teori, Diagnosis dan Remediasinya, Rineka Cipta, Jakarta, 2012.
Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, Rineka Cipta, Jakarta, 1999.
Afandi, Muhamad, dkk,  Model Dan Metode Pembelajaran Di Sekolah, Unissula Press, Semarang, 2013.
Daharnis, Diktat Jurusan Psikologi Pendidikan, IKIP, Padang, 1998.
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Rineka Cipta, Jakarta, 1999.
Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.
Partowisasto, Koestoer dan A. Hadi Suparto, Diagnosa dan Pemecahan Kesulitan Belajar, Erlangga, Jakarta, 1986.
Purwanto, M. Ngalim, Psikilogi Pendidikan, cet. 23, PT. Remaja Rosdakarya Offset, Bandung , 2007.
Sugiyanto, Psikologi Pendidikan: Belajar dan Pembelajaran,  Yogyakarta.
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Berbasis Integrasi dan Kompetensi), ed. revisi, cet. 5, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014
Trisnayadi, Tuwuh, Bimbingan Karier untuk Pelajar Muslim, Erlangga, Jakarta, 2013.
Warkitri, dkk, Penilaian Pencapaian Hasil Belajar, Universitas Terbuka, Jakarta, 1998.




[1] Mulyono Abdurrahman, Anak Berkesulitan Belajar Teori, Diagnosis dan Remediasinya, Rineka Cipta, Jakarta, 2012, h. 11.
[2] Ibid.
[3] Daharnis, Diktat Jurusan Psikologi Pendidikan, IKIP, Padang, 1998, h.7.
[4] Koestoer Partowisasto dan A. Hadi Suparto, Diagnosa dan Pemecahan Kesulitan Belajar, Erlangga, Jakarta, 1986, h. 46.

[5]Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Berbasis Integrasi dan Kompetensi), ed. revisi, cet. 5, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014,  h. 166.
[6] Warkitri, dkk, Penilaian Pencapaian Hasil Belajar, Universitas Terbuka, Jakarta, 1998, h. 8.
[7] Mulyono Abdurrahman, op.cit, h. 13.
[8] Ibid, h. 14.
[9] Ibid, h. 16.                            
[10] Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, Rineka Cipta, Jakarta, 1999, h. 28.
[11] Muhamad Afandi, dkkModel dan Metode Pembelajaran di Sekolah, Unissula Press, Semarang, 2013, h. 1.
[12] Sugiyanto, Psikologi Pendidikan : Belajar dan Pembelajaran,  Yogyakarta, h. 2.
[13] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, h.13.
[14] M. Ngalim Purwanto, Psikilogi Pendidikan, cet. 23, PT. Remaja Rosdakarya Offset, Bandung , 2007,  h. 85.
[15] Tuwuh Trisnayadi, Bimbingan Karier untuk Pelajar Muslim, Erlangga, Jakarta, 2013, h. 57.      
[16] Mulyono Abdurrahman, op.cit, h. 19.
[17] Mulyono Abdurrahman, op.cit, h. 21.
[18] Muhamad Afandi, op.cit, h. 4.
[19]Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Rineka Cipta, Jakarta, 1999, h. 3.
[20] Mulyono Abdurrahman, op.cit, h. 26.






























Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WIRAUSAHA : PELUANG USAHA

BAB I PENDAHULUAN A.            Latar Belakang Seseorang yang berkemauan keras dalam melakukan suatu tindakan demi memperoleh suat...