BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Transplantasi atau pencangkokan organ tubuh adalah
pemindahan organ tubuh tertentu yang mempunyai daya hidup yang sehat, dari
seseorang untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat atau tidak berfungsi
dengan baik milik orang lain. Transfuse darah adalah penginjeksian darah dari
seseorang (yang disebut donor) ke dalam sistem peredaran darah seseorang yang
lain (yang disebut resepien). Transfuse darah tidak pernah terjadi kecuali
setelah ditemukannya sirkulasi darah yang tidak pernah berhenti dalam tubuh.
Hal-hal sangatlah umum pada hari ini. Namun yang jadi
permsalahannya. bolehkah kita untuk melakukan transplantasi organ tubuh dan
Transfuse darah? Jawabnya boleh apabila tidak membahayakan bagi diri pendonor
itu sendiri. Untuk lebih jelasnya penulis menguraikan dalam pemhahasan.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan
masalahnya sebagai berikut :
1) Apa pengertian
transplantasi
tubuh dan transfusi darah?
2) Bagaimana hukum
transplantasi tubuh?
3) Bagaimana hukum
transfusi darah?
C.
Tujuan
Adapun tujuannya sebagai berikut :
1) Untuk mengetahui apa pengertian transplantasi
tubuh dan transfusi darah.
2) Untuk
mengetahui bagaimana hukum transplantasi tubuh
3) Untuk
mengetahui bagaimana hukum transfusi darah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Transplantasi
Tubuh dan Transfusi Darah
Transplantasi dalam bahasa Inggris yakni
transplantation, yang berarti : to move from one place to
another (memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain). Adapun
pengertian menurut ahli ilmu kedokteran, transplantasi ialah pemindahan jaringan atau organ dari tempat
satu ke tempat lain.[1]
Transplantasi juga berarti
pencangkokan. Transplantasi menurut istilah kedokteran berarti usaha
memindahkan sebagian dari bagian tubuh dari satu tempat ke tempat lain. Atau,
upaya medis untuk memindahkan sel, jaringan (kumpuan sel-sel), atau organ tubuh
dari donor kepada resipien ( individu yang menerima jaringan atau organ yang
ditransparansikan). Jadi Transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau
organ manusia tertentu dari suatu tempat ke tempat lain pada tubunya sendiri
atau tubuh orang lain dengan persyaratan dan kondisi tertentu.
Djamaluddin Miri membagi
transplantasi itu pada dua bagian : 1) Transplantasi jaringan seperti pencangkokan kornea mata dan 2) Transplantasi organ seperti pencangkokan
organ ginjal, jantung dan sebagainya. Melihat dari hubungan genetik antara
donor (pemberi jaringan atau organ yang ditransplantasikan) dari resipien
(orang yang menerima pindahan jaringan atau organ), ada tiga macam pencangkokan
:
- Auto transplantasi, yaitu transplantasi di mana donor resipiennya satu
individu. Seperti seorang yang pipinya dioperasi, untuk memulihkan bentuk
diambilkan daging dari bagian badannya yang lain dalam badannya sendiri.
- Homo transplantasi, yakni di mana transplantasi itu donor dan resipiennya
individu yang sama jenisnya (jenis di sini bukan jenis kelamin, tetapi
jenis manusia dengan manusia).
- Hetero transplantasi ialah yang donor dan resipiennya dua individu yang
berlainan jenisnya, seperti transplantasi yang donornya adalah hewan
sedangkan resipiennya manusia.
Tranfusi
darah (blood Tranfusi) ialah
memindahkan darah dari seseorang kepada orang lain untuk menyelamatkan jiwanya. Pengertian transfusi darah menurut Asy-Syekh Husnain
Muhammad Makhluf adalah:
نَقْلُ الدَّمِ لِلْعِلاَجِ هُوَ اْلإِ نْتِفَاعُ بِدَمِ اْلإِنْسَانِ بِنَقْلِهِ مِنَ الصَّحِيْحِ إِلَى الْمَرِيْصِ لاِنْقَاذِ
حَيَاتِهِ
Yang artinya “Transfusi darah adalah memanfaatkan darah manusia dengan
cara memindahkannya dari tubuh orang yang sehat kepada tubuh orang yang
membutuhkannya, untuk mempertahankan hidupnya”.
Jadi, transfusi
darah adalah proses penyaluran darah dair seseorang untuk orang lain baik
secara langsung atau melalui badan organisasi yang menampung dan natinya akan
disalurkan.
B.
Hukum
Transplantasi Tubuh Transfusi Darah
Islam memerintahkan agar setiap
penyakit diobati. Membiarkan penyakit bersarang dalam tubuh dapat berakibat
fatal, yaitu kematian. Membiarkan diri terjerumus pada kematian adalah perbuatan terlarang.
وَلاَتَـقْـتُـلُوْا اَنْـفُسَهُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا ( النسآء :29) )
Artinya: "... dan janganlah
kamu membunuh dirimu ! Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu." (QS.
An-Nisa 4: 29)
Maksudnya, apabila sakit, berobatlah
secara optimal sesuai dengan kemampuan karena setiap penyakit sudah ditentukan
obatnya. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa seorang Arab Badui mendatangi
Rasulullah saw. seraya bertanya, Apakah kita harus berobat? Rasulullah
menjawab, “Ya hamba Allah, berobatlah kamu, sesungguhnya Allah tidak menurunkan
penyakit melainkan juga (menentukan) obatnya, kecuali untuk satu penyakit.”
Para shahabat bertanya, “Penyakit apa itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab,
“Penyakit tua.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad). Jadi Transplantasi termasuk salah satu jenis
pengobatan.
Islam memerintahkan untuk saling
menolong dalam kebaikan dan mengharamkannya dalam dosa dan pelanggaran.
تَعَـاوَ نُـوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ( المـائـدة : 2) )
Artinya: "Dan tolong
menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS. Al-Maidah 5 :2)
Menolong orang lain adalah perbuatan
mulia. Namun tetap harus memperhatikan kondisi pribadi. Artinya, tidak
dibenarkan menolong orang lain yang berakibat membinasakan diri sendiri,
sebagaimana firman-Nya,
وَلاَ تُـلْـقُوْا بِأَيْدِيْكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ( البقرة :195) )
Artinya: “…dan janganlah kamu
menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah 2: 195)
Jadi, jika menurut perhitungan medis
menyumbangkan organ tubuh itu tidak membahayakan pendonor atau penyumbang
hukumnya boleh, bahkan dikategorikan ibadah kalau dilakukan secara ikhlas.
Namun, bila mencelakakannya
hukumnya haram.[2]
Para ulama fiqh (pakar hukum Islam) klasik sepakat bahwa
menyambung organ tubuh manusia dengan organ manusia boleh selama organ lainnya
tidak didapatkan. Majma’ al-Fiqh Al-Islami pada Muktamar ke-4 yang
diselenggarakan di Jiddah pada 6-11 Februari 1988, telah mengeluarkan fatwa
tentang hukum transplantasi menggunakan organ manusia, auto-transplantasi, dan
homo-trans-plantasi dari orang hidup maupun orang mati, dengan syarat-syarat
yang harus ditunaikan. Ada enam butir keputusan yaitu sebagai berikut:
1. Bahwa memindahkan organ tubuh
seseorang ke bagian lain dari tubuhnya sendiri (auto-transplantasi) hukumnya
boleh, dengan ketentuan dapat dipastikan proses tersebut manfaatnya lebih besar
daripada mudarat yang timbul. Disyaratkan juga, hal itu dilakukan karena organ
tubuhnya ada yang hilang atau untuk mengembalikan ke bentuk asal dan fungsinya,
atau untuk menutupi cacat yang membuat si pasien terganggu secara psikologis
maupun fisiologis.
2. Memindahkan organ tubuh seseorang ke
tubuh orang lain hukumnya mubah (boleh), jika organ tubuh yang dipindahkan itu
dapat terus berganti dan berubah, seperti darah dan kulit.
3. Boleh hukumnya memanfaatkan organ
tubuh yang tidak berfungsi lagi, karena sakit misalnya, untuk orang lain. Seperti mengambil kornea dari mata seseorang yang tidak
berfungsi lagi untuk orang lain.
4. Haram hukumnya memindahkan organ
tubuh yang sangat vital, seperti jantung, dari seseorang yang masih hidup
kepada orang lain.
5. Haram hukumnya memindahkan organ tubuh seseorang yang
dapat menyebabkan hilangnya fungsi organ tubuh yang asasi secara total,
meskipun tidak membahayakan keselamatan jiwanya, seperti memindahkan kedua
kornea mata. Namun jika pemindahan organ tersebut hanya berdampak hilangnya
sebagian fungsi organ tubuh yang asasi (tidak total).
6. Boleh hukumnya memindahkan organ
tubuh mayit kepada orang hidup yang sangat bergantung keselamatan jiwanya
dengan organ tubuh tersebut, atau fungsi organ vital sangat tergantung pada
keberadaan organ tersebut. Dengan syarat si mayit atau ahli warisnya
mengizinkan. Atau dengan syarat persetujuan pemerintah muslim jika si mayit
seorang yang tidak dikenal identitasnya dan tidak memiliki ahli waris.
Perlu diperhatikan bahwa kesepakatan bolehnya memindahkan
organ tubuh yang dijelaskan di atas, disyaratkan tidak dilakukan dengan cara
jual beli organ tubuh, karena jual beli organ tubuh tidak diperbolehkan sama
sekali. Di Indonesia pengaturan hukum tranplantasi terdapat
dalam UU Pasal 1 huruf (e) Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 Tentang Bedah
Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi dan atau Jaringan
Tubuh Manusia menyatakan bahwa: “Transplantasi
adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan alat dan atau jaringan
tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk
menggantikan alat dan atau jaringan tubuh manusia yang tidak berfungsi dengan
baik”.[3]
Pemanfaatan organ tubuh manusia yang sudah meninggal, ada dua pendapat yaitu:
1) Haram memanfaatkan organ tubuh manusia yang sudah meninggal,
karena sosok mayat manusia harus dihormati sebagaimana ia dihormati semasa
hidupnya. Landasannya, sabda Rasulullah SAW., “Memotong tulang mayat sama dengan memotong tulang manusia ketika masih
hidup.” (HR. Abu Daud) dan 2) Memanfaatkan organ tubuh manusia ssebagai pengobatan
dibolehkan dalam keadaan darurat. Alasannya, hadis riwayat Abu Daud yang
melarang memotong tulang mayat tersebut berlaku jika dilakukan semena-mena
tanpa manfaat. Apabila dilakukan untuk pengobatan, pemanfaatan organ mayat
tidak dilarang karena hadits yang memerintahkan seseorang untuk mengobati
penyakit lebih banyak dan lebih meyakinkan daripada hadits Abu Daud di atas.
Akan tetapi, pemanfaatannya harus dapat izin dari orang tersebut (sebelum ia
wafat) atau dari ahli warisnya (setelah ia wafat).
C.
Hukum
Transfusi Darah
Donor darah dibolehkan secara syarak namun kebolehan ini berdasarkan
syarat-syarat berikut ini:
1. Terdapat kondisi darurat, seperti
ada seseorang atau sekelompok orang yang sangat membutuhkan darah guna
menyelamatkan jiwa mereka dari kematian atau dari kondisi yang dapat
mengakibatkan kematian, seperti dalam peristiwa kecelakaan, bencana alam dan
proses operasi.
2. Donor darah tersebut tidak
menimbulkan mudarat sama sekali bagi pendonor, baik secara menyeluruh atau
sebagian saja. Donor darah itu juga tidak menghalanginya melaksanakan
aktifitasnya sehari-hari, baik secara fisik maupun psikis. Juga dipastikan
tidak adanya pengaruh negatif pada dirinya, baik saat pendonoran atau di masa
mendatang. Boleh mendonorkan darah jika tidak menimbulkan bahaya
dan akibat buruk terhadap si pendonor darah, berdasarkan hadits Nabi SAW :
"Tidak boleh melakukan sesuatu yang
membahayakan jiwa dan tidak boleh pula membahayakan orang lain."
3. Darah pendonor harus dipastikan
telah steril dari penyakit yang dapat mengganggu tubuh manusia. Dalam pandangan
syarak, tidak boleh mencegah suatu kemudaratan namun dengan menimbulkan
kemudaratan yang lain.
4. Pendonor harus seseorang yang
memenuhi semua syarat pengambilan keputusan dan kebijakan berkaitan dengan
dirinya maupun hartanya.
Di antara
dalil yang menunjukkan bolehnya adalah keumuman hadits Nabi menganjurkan kita
untuk membantu saudara kita dan menghilangkan beban penderitaan mereka.
Rasulullah bersabda: “Barang siapa di
antara kalian yang mampu untuk memberikan
manfaat kepada saudaranya maka hendaknya dia melakukannya.”(HR. Muslim).
Hadits ini
berisi anjuran untuk memberikan manfaat kepada saudara kita, sedangkan donor
darah sangat bermanfaat bagi orang yang membutuhkannya. Dengan demikian, barang
siapa yang mampu untuk donor darah tanpa mencelakai dirinya maka hal itu
dianjurkan. Syaikh Muhammad al- Buhairi berkata, “Manfaat apa yang lebih besar dibandingkan engkau menyelamatkan
saudaramu dengan beberapa tetesan darahmu tanpa membahayakan dirimu.”
Menurut
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta hukum asal dalam pengobatan,
hendaknya dengan menggunakan sesuatu yang diperbolehkan menurut syari’at.
Namun, jika tidak ada cara lain untuk menambahkan daya tahan dan mengobati
orang sakit kecuali dengan darah orang lain, dan ini menjadi satu-satunya usaha
menyelamatkan orang sakit atau lemah, sementara para ahli memiliki dugaan kuat
bahwa ini akan memberikan manfaat bagi pasien, maka dalam kondisi seperti ini
diperbolehkan untuk mengobati dengan darah orang lain.[4]
Dilihat
dalam fatwa Syaikh Muhammad bin Ibrahim. Lembaga tertinggi
Majelis Ulama juga mengeluarkan fatwa berkenaan dengan masalah ini sebagai
berikut : Pertama, boleh hukumnya
mendonorkan darah selama tidak membahayakan jiwanya dalam kondisi yang memang
dibutuhkan untuk menolong kaum muslimin yang benar-benar membutuhkannya. Kedua, boleh hukumnya
mendirikan Bank Donor Darah Islami untuk menerima orang-orang yang bersedia
mendonorkan darahnya guna menolong kaum muslimin yang membutuhkannya. Dan
hendaknya bank tersebut tidak menerima imbalan harta dari si sakit ataupun ahli
waris dan walinya sebagai ganti darah yang di donorkan. Dan tidak dibolehkan
menjadikan hal itu sebagai lahan bisnis untuk mencari keuntungan, karena hal
itu berkaitan dengan kemaslahatan umum kaum muslimin.[5] Karena Rasulullah
Shallallahu Alaihi
Wasallam bersabda
dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma:
ثَمَنَهُ عَلَيْهِمْ حَرَّمَ شَيْءٍ أَكْلَ قَوْمٍ عَلَى حَرَّمَ
إِذَا اللهَ إِنَّ
Artinya: “Sesungguhnya jika Allah
mengharamkan sebuah kaum untuk memakan sesuatu maka Allah akan haramkan
harganya.”
Adapun jika yang
membutuhkan darah memberikan kepadanya sesuatu sebagai balas jasanya
maka
boleh bagi sang pendonor untuk mengambilnya
tapi
dengan syarat, dia tidak memintanya sebelum dan sesudah donor, tidak
mempersyaratkannya baik
secara langsung maupun tidak langsung, baik secara jelas maupun dengan isyarat,
baik secara zhohir maupun batin. Kapan dia melaksanakan salah satu dari
perkara-perkara di atas, maka haram baginya untuk menerima pemberian dari orang
tersebut.
Adapun
hubungan antara donor dan resipien menurut Ust.
Subki Al-Bughury, transfusi darah itu tidak membawa akibat hukum adanya
hubungan kemahraman antara donor dan resipien. Sebab faktor-faktor yang dapat
menyebabkan kemahraman sudah ditentukan oleh Islam sebagaimana tersebut dalam
An-Nisa: 23, yaitu:
Mahram karena adanya hubungan nasab. Misalnya hubungan antara anak dengan
ibunya atau saudaranya sekandung, dsb.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa Transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ
manusia tertentu dari suatu tempat ke tempat lain pada tubunya sendiri atau
tubuh orang lain dengan persyaratan dan kondisi tertentu. Transfusi darah adalah proses
menyalurkan darah atau produk berbasis darah dari
satu orang ke sistem peredaran orang lainnya.
Bolehnya
memindahkan organ tubuh yang dijelaskan di atas, disyaratkan tidak dilakukan
dengan cara jual beli organ tubuh, karena jual beli organ tubuh tidak
diperbolehkan sama sekali. Di Indonesia pengaturan hukum
tranplantasi dalam UU Pasal 1 huruf (e) Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981
Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi dan
atau Jaringan Tubuh Manusia.
Donor darah dibolehkan secara syarak namun kebolehan ini berdasarkan
syarat-syarat yang telah ditentukan dan disepakati oleh ulama. Di antara
dalil yang menunjukkan bolehnya adalah keumuman hadits Nabi menganjurkan kita
untuk membantu saudara kita dan menghilangkan beban penderitaan mereka.
Rasulullah bersabda: “Barang siapa di
antara kalian yang mampu untuk memberikan
manfaat kepada saudaranya maka hendaknya dia melakukannya.”(HR. Muslim).
B. Saran
Semoga
dengan selesainya tugas makalah ini dapat kita dapat mengambil ibrahnya, dan
dapat mengetahui tentang hokum
tranplantasi dan tranfusi darah, sehingga kita dapat
menambah wawasan lebih luas dalam
memahami permasalah yang menyangkut hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Djamaluddin Miri, 2007, Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926 – 2004 M), Surabaya:
Khalista.
MA, Tihami dan Sohari Sahrani, 2007, Masail al Fiqhiyah, Jakarta: Diadit Media.
Suminar,Sri Ratna, 2010 Jurnal
Aspek Hukum Dan Fiqih Tentang
Transaksi Organ Tubuh Untuk Transplantasi Organ Tubuh Manusia, vol. XII, no.
1, FH. Unisba.
Eny, Dkk, Makalah
Transfusi Darah Dalam Pandangan Islam, Akademi Keperawatan Yappi Sragen.
Ath-Thariiqi Al-Idhthirar Ilal Ath'imah Wal Adwiyah
Al-Muharramah Sumber : islam-qa.com . Note : artikel di atas telah dimuat
dalam Labbaik, edisi : 033/th.04/Rajab-Sya’ban 1428H/2007M. h. 169, diambil dari: http://www.madinatuliman.com/7/90-bagaimana-hukum-mendonorkan-darah-dalam-pandangan-islam.html.
[1] Djamaluddin Miri, 2007, Ahkamul
Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan
Konbes Nahdlatul Ulama (1926 – 2004 M), Surabaya: Khalista, h. 459.
[3] Sri
Ratna Suminar, 2010, Jurnal
Aspek Hukum Dan Fiqih Tentang Transaksi Organ Tubuh
Untuk Transplantasi Organ Tubuh Manusia, vol. XII, no. 1, FH. Unisba, h. 35.
[5] Ath-Thariiqi Al-Idhthirar Ilal Ath'imah Wal Adwiyah
Al-Muharramah Sumber : islam-qa.com . Note : artikel di atas telah dimuat
dalam Labbaik, edisi : 033/th.04/Rajab-Sya’ban 1428H/2007M. h. 169, diambil
dari : http://www.madinatuliman.com/7/90-bagaimana-hukum-mendonorkan-darah-dalam-pandangan-islam.html.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar