Kamis, 31 Januari 2019

FIQIH KONTEMPORER : TRANSPLANTASI DAN TRANFUSI DARAH


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Transplantasi atau pencangkokan organ tubuh adalah pemindahan organ tubuh tertentu yang mempunyai daya hidup yang sehat, dari seseorang untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat atau tidak berfungsi dengan baik milik orang lain. Transfuse darah adalah penginjeksian darah dari seseorang (yang disebut donor) ke dalam sistem peredaran darah seseorang yang lain (yang disebut resepien). Transfuse darah tidak pernah terjadi kecuali setelah ditemukannya sirkulasi darah yang tidak pernah berhenti dalam tubuh.
Hal-hal sangatlah umum pada hari ini. Namun yang jadi permsalahannya. bolehkah kita untuk melakukan transplantasi organ tubuh dan Transfuse darah? Jawabnya boleh apabila tidak membahayakan bagi diri pendonor itu sendiri. Untuk lebih jelasnya penulis menguraikan dalam pemhahasan.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut :
1)      Apa pengertian transplantasi tubuh dan transfusi darah?
2)      Bagaimana hukum transplantasi tubuh?
3)      Bagaimana hukum transfusi darah?

C.    Tujuan
Adapun tujuannya sebagai berikut :
1)      Untuk mengetahui apa pengertian transplantasi tubuh dan transfusi darah.
2)      Untuk mengetahui bagaimana hukum transplantasi tubuh
3)      Untuk mengetahui bagaimana hukum transfusi darah.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Transplantasi Tubuh dan Transfusi Darah
Transplantasi dalam bahasa Inggris yakni transplantation, yang berarti : to move from one place to another (memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain). Adapun pengertian menurut ahli ilmu kedokteran, transplantasi ialah  pemindahan jaringan atau organ dari tempat satu ke tempat lain.[1]
Transplantasi juga berarti pencangkokan. Transplantasi menurut istilah kedokteran berarti usaha memindahkan sebagian dari bagian tubuh dari satu tempat ke tempat lain. Atau, upaya medis untuk memindahkan sel, jaringan (kumpuan sel-sel), atau organ tubuh dari donor kepada resipien ( individu yang menerima jaringan atau organ yang ditransparansikan). Jadi Transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ manusia tertentu dari suatu tempat ke tempat lain pada tubunya sendiri atau tubuh orang lain dengan persyaratan dan kondisi tertentu.
Djamaluddin Miri membagi transplantasi itu pada dua bagian : 1) Transplantasi jaringan seperti pencangkokan kornea mata dan 2) Transplantasi organ seperti pencangkokan organ ginjal, jantung dan sebagainya. Melihat dari hubungan genetik antara donor (pemberi jaringan atau organ yang ditransplantasikan) dari resipien (orang yang menerima pindahan jaringan atau organ), ada tiga macam pencangkokan :
  1. Auto transplantasi, yaitu transplantasi di mana donor resipiennya satu individu. Seperti seorang yang pipinya dioperasi, untuk memulihkan bentuk diambilkan daging dari bagian badannya yang lain dalam badannya sendiri.
  2. Homo transplantasi, yakni di mana transplantasi itu donor dan resipiennya individu yang sama jenisnya (jenis di sini bukan jenis kelamin, tetapi jenis manusia dengan manusia).
  3. Hetero transplantasi ialah yang donor dan resipiennya dua individu yang berlainan jenisnya, seperti transplantasi yang donornya adalah hewan sedangkan resipiennya manusia.
Tranfusi darah (blood Tranfusi) ialah memindahkan darah dari seseorang kepada orang lain untuk menyelamatkan jiwanya. Pengertian transfusi darah menurut Asy-Syekh Husnain Muhammad Makhluf adalah:
نَقْلُ الدَّمِ لِلْعِلاَجِ هُوَ اْلإِ نْتِفَاعُ  بِدَمِ اْلإِنْسَانِ بِنَقْلِهِ  مِنَ الصَّحِيْحِ إِلَى الْمَرِيْصِ لاِنْقَاذِ حَيَاتِهِ
Yang artinya “Transfusi darah adalah memanfaatkan darah manusia dengan cara memindahkannya dari tubuh orang yang sehat kepada tubuh orang yang membutuhkannya, untuk mempertahankan hidupnya”.
Jadi, transfusi darah adalah proses penyaluran darah dair seseorang untuk orang lain baik secara langsung atau melalui badan organisasi yang menampung dan natinya akan disalurkan.

B.     Hukum Transplantasi Tubuh Transfusi Darah
Islam memerintahkan agar setiap penyakit diobati. Membiarkan penyakit bersarang dalam tubuh dapat berakibat fatal, yaitu kematian. Membiarkan diri terjerumus pada kematian adalah perbuatan terlarang.

وَلاَتَـقْـتُـلُوْا اَنْـفُسَهُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا ( النسآء :29) )
Artinya: "... dan janganlah kamu membunuh dirimu ! Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu." (QS. An-Nisa 4: 29)
Maksudnya, apabila sakit, berobatlah secara optimal sesuai dengan kemampuan karena setiap penyakit sudah ditentukan obatnya. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa seorang Arab Badui mendatangi Rasulullah saw. seraya bertanya, Apakah kita harus berobat? Rasulullah menjawab, “Ya hamba Allah, berobatlah kamu, sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit melainkan juga (menentukan) obatnya, kecuali untuk satu penyakit.” Para shahabat bertanya, “Penyakit apa itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Penyakit tua.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).  Jadi Transplantasi termasuk salah satu jenis pengobatan.
Islam memerintahkan untuk saling menolong dalam kebaikan dan mengharamkannya dalam dosa dan pelanggaran.

تَعَـاوَ نُـوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ( المـائـدة : 2) )
Artinya: "Dan tolong menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS. Al-Maidah 5 :2)
                                                                         
Menolong orang lain adalah perbuatan mulia. Namun tetap harus memperhatikan kondisi pribadi. Artinya, tidak dibenarkan menolong orang lain yang berakibat membinasakan diri sendiri, sebagaimana firman-Nya,

وَلاَ تُـلْـقُوْا بِأَيْدِيْكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ( البقرة :195) )
Artinya: “…dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah 2: 195)
Jadi, jika menurut perhitungan medis menyumbangkan organ tubuh itu tidak membahayakan pendonor atau penyumbang hukumnya boleh, bahkan dikategorikan ibadah kalau dilakukan secara ikhlas. Namun, bila mencelakakannya hukumnya haram.[2]
Para ulama fiqh (pakar hukum Islam) klasik sepakat bahwa menyambung organ tubuh manusia dengan organ manusia boleh selama organ lainnya tidak didapatkan. Majma’ al-Fiqh Al-Islami pada Muktamar ke-4 yang diselenggarakan di Jiddah pada 6-11 Februari 1988, telah mengeluarkan fatwa tentang hukum transplantasi menggunakan organ manusia, auto-transplantasi, dan homo-trans-plantasi dari orang hidup maupun orang mati, dengan syarat-syarat yang harus ditunaikan. Ada enam butir keputusan yaitu sebagai berikut:
1.      Bahwa memindahkan organ tubuh seseorang ke bagian lain dari tubuhnya sendiri (auto-transplantasi) hukumnya boleh, dengan ketentuan dapat dipastikan proses tersebut manfaatnya lebih besar daripada mudarat yang timbul. Disyaratkan juga, hal itu dilakukan karena organ tubuhnya ada yang hilang atau untuk mengembalikan ke bentuk asal dan fungsinya, atau untuk menutupi cacat yang membuat si pasien terganggu secara psikologis maupun fisiologis.
2.      Memindahkan organ tubuh seseorang ke tubuh orang lain hukumnya mubah (boleh), jika organ tubuh yang dipindahkan itu dapat terus berganti dan berubah, seperti darah dan kulit.
3.      Boleh hukumnya memanfaatkan organ tubuh yang tidak berfungsi lagi, karena sakit misalnya, untuk orang lain. Seperti mengambil kornea dari mata seseorang yang tidak berfungsi lagi untuk orang lain.
4.      Haram hukumnya memindahkan organ tubuh yang sangat vital, seperti jantung, dari seseorang yang masih hidup kepada orang lain.
5.      Haram hukumnya memindahkan organ tubuh seseorang yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi organ tubuh yang asasi secara total, meskipun tidak membahayakan keselamatan jiwanya, seperti memindahkan kedua kornea mata. Namun jika pemindahan organ tersebut hanya berdampak hilangnya sebagian fungsi organ tubuh yang asasi (tidak total).
6.      Boleh hukumnya memindahkan organ tubuh mayit kepada orang hidup yang sangat bergantung keselamatan jiwanya dengan organ tubuh tersebut, atau fungsi organ vital sangat tergantung pada keberadaan organ tersebut. Dengan syarat si mayit atau ahli warisnya mengizinkan. Atau dengan syarat persetujuan pemerintah muslim jika si mayit seorang yang tidak dikenal identitasnya dan tidak memiliki ahli waris.
Perlu diperhatikan bahwa kesepakatan bolehnya memindahkan organ tubuh yang dijelaskan di atas, disyaratkan tidak dilakukan dengan cara jual beli organ tubuh, karena jual beli organ tubuh tidak diperbolehkan sama sekali. Di Indonesia pengaturan hukum tranplantasi terdapat dalam UU Pasal 1 huruf (e) Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi dan atau Jaringan Tubuh Manusia menyatakan bahwa: “Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan alat dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh manusia yang tidak berfungsi dengan baik”.[3]
Pemanfaatan organ tubuh manusia yang sudah meninggal, ada dua pendapat yaitu: 1) Haram memanfaatkan organ tubuh manusia yang sudah meninggal, karena sosok mayat manusia harus dihormati sebagaimana ia dihormati semasa hidupnya. Landasannya, sabda Rasulullah SAW., “Memotong tulang mayat sama dengan memotong tulang manusia ketika masih hidup.” (HR. Abu Daud) dan 2) Memanfaatkan organ tubuh manusia ssebagai pengobatan dibolehkan dalam keadaan darurat. Alasannya, hadis riwayat Abu Daud yang melarang memotong tulang mayat tersebut berlaku jika dilakukan semena-mena tanpa manfaat. Apabila dilakukan untuk pengobatan, pemanfaatan organ mayat tidak dilarang karena hadits yang memerintahkan seseorang untuk mengobati penyakit lebih banyak dan lebih meyakinkan daripada hadits Abu Daud di atas. Akan tetapi, pemanfaatannya harus dapat izin dari orang tersebut (sebelum ia wafat) atau dari ahli warisnya (setelah ia wafat).

C.    Hukum Transfusi Darah
Donor darah dibolehkan secara syarak namun kebolehan ini berdasarkan syarat-syarat berikut ini:
1.      Terdapat kondisi darurat, seperti ada seseorang atau sekelompok orang yang sangat membutuhkan darah guna menyelamatkan jiwa mereka dari kematian atau dari kondisi yang dapat mengakibatkan kematian, seperti dalam peristiwa kecelakaan, bencana alam dan proses operasi.
2.      Donor darah tersebut tidak menimbulkan mudarat sama sekali bagi pendonor, baik secara menyeluruh atau sebagian saja. Donor darah itu juga tidak menghalanginya melaksanakan aktifitasnya sehari-hari, baik secara fisik maupun psikis. Juga dipastikan tidak adanya pengaruh negatif pada dirinya, baik saat pendonoran atau di masa mendatang. Boleh mendonorkan darah jika tidak menimbulkan bahaya dan akibat buruk terhadap si pendonor darah, berdasarkan hadits Nabi SAW : "Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan jiwa dan tidak boleh pula membahayakan orang lain."
3.      Darah pendonor harus dipastikan telah steril dari penyakit yang dapat mengganggu tubuh manusia. Dalam pandangan syarak, tidak boleh mencegah suatu kemudaratan namun dengan menimbulkan kemudaratan yang lain.
4.      Pendonor harus seseorang yang memenuhi semua syarat pengambilan keputusan dan kebijakan berkaitan dengan dirinya maupun hartanya.
Di antara dalil yang menunjukkan bolehnya adalah keumuman hadits Nabi menganjurkan kita untuk membantu saudara kita dan menghilangkan beban  penderitaan mereka. Rasulullah bersabda: “Barang siapa di antara kalian yang mampu untuk memberikan manfaat kepada saudaranya maka hendaknya dia melakukannya.(HR. Muslim).
Hadits ini berisi anjuran untuk memberikan manfaat kepada saudara kita, sedangkan donor darah sangat bermanfaat bagi orang yang membutuhkannya. Dengan demikian, barang siapa yang mampu untuk donor darah tanpa mencelakai dirinya maka hal itu dianjurkan. Syaikh Muhammad al- Buhairi berkata, “Manfaat apa yang lebih besar dibandingkan engkau menyelamatkan saudaramu dengan beberapa tetesan darahmu tanpa membahayakan dirimu.”
Menurut Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta hukum asal dalam pengobatan, hendaknya dengan menggunakan sesuatu yang diperbolehkan menurut syari’at. Namun, jika tidak ada cara lain untuk menambahkan daya tahan dan mengobati orang sakit kecuali dengan darah orang lain, dan ini menjadi satu-satunya usaha menyelamatkan orang sakit atau lemah, sementara para ahli memiliki dugaan kuat bahwa ini akan memberikan manfaat bagi pasien, maka dalam kondisi seperti ini diperbolehkan untuk mengobati dengan darah orang lain.[4]
Dilihat dalam fatwa Syaikh Muhammad bin Ibrahim. Lembaga tertinggi Majelis Ulama juga mengeluarkan fatwa berkenaan dengan masalah ini sebagai berikut : Pertama, boleh hukumnya mendonorkan darah selama tidak membahayakan jiwanya dalam kondisi yang memang dibutuhkan untuk menolong kaum muslimin yang benar-benar membutuhkannya. Kedua, boleh hukumnya mendirikan Bank Donor Darah Islami untuk menerima orang-orang yang bersedia mendonorkan darahnya guna menolong kaum muslimin yang membutuhkannya. Dan hendaknya bank tersebut tidak menerima imbalan harta dari si sakit ataupun ahli waris dan walinya sebagai ganti darah yang di donorkan. Dan tidak dibolehkan menjadikan hal itu sebagai lahan bisnis untuk mencari keuntungan, karena hal itu berkaitan dengan kemaslahatan umum kaum muslimin.[5] Karena Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma:
 ثَمَنَهُ عَلَيْهِمْ حَرَّمَ شَيْءٍ أَكْلَ قَوْمٍ عَلَى حَرَّمَ إِذَا اللهَ إِنَّ
Artinya: “Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sebuah kaum untuk memakan sesuatu maka Allah akan haramkan harganya.
Adapun jika yang membutuhkan darah memberikan kepadanya sesuatu sebagai balas jasanya maka boleh bagi sang pendonor untuk mengambilnya tapi dengan syarat, dia tidak memintanya sebelum dan sesudah donor, tidak mempersyaratkannya baik secara langsung maupun tidak langsung, baik secara jelas maupun dengan isyarat, baik secara zhohir maupun batin. Kapan dia melaksanakan salah satu dari perkara-perkara di atas, maka haram baginya untuk menerima pemberian dari orang tersebut.
Adapun hubungan antara donor dan resipien menurut Ust. Subki Al-Bughury, transfusi darah itu tidak membawa akibat hukum adanya hubungan kemahraman antara donor dan resipien. Sebab faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemahraman sudah ditentukan oleh Islam sebagaimana tersebut dalam An-Nisa: 23, yaitu: Mahram karena adanya hubungan nasab. Misalnya hubungan antara anak dengan ibunya atau saudaranya sekandung, dsb.











BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ manusia tertentu dari suatu tempat ke tempat lain pada tubunya sendiri atau tubuh orang lain dengan persyaratan dan kondisi tertentu. Transfusi darah adalah proses menyalurkan darah atau produk berbasis darah dari satu orang ke sistem peredaran orang lainnya.
Bolehnya memindahkan organ tubuh yang dijelaskan di atas, disyaratkan tidak dilakukan dengan cara jual beli organ tubuh, karena jual beli organ tubuh tidak diperbolehkan sama sekali. Di Indonesia pengaturan hukum tranplantasi dalam UU Pasal 1 huruf (e) Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi dan atau Jaringan Tubuh Manusia.
Donor darah dibolehkan secara syarak namun kebolehan ini berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan dan disepakati oleh ulama. Di antara dalil yang menunjukkan bolehnya adalah keumuman hadits Nabi menganjurkan kita untuk membantu saudara kita dan menghilangkan beban  penderitaan mereka. Rasulullah bersabda: “Barang siapa di antara kalian yang mampu untuk memberikan manfaat kepada saudaranya maka hendaknya dia melakukannya.(HR. Muslim).

B.     Saran
Semoga dengan selesainya tugas makalah ini dapat kita dapat mengambil ibrahnya, dan dapat mengetahui tentang hokum tranplantasi dan tranfusi darah, sehingga kita dapat menambah wawasan lebih luas dalam memahami permasalah yang menyangkut hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Djamaluddin Miri, 2007, Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926 – 2004 M), Surabaya: Khalista.
MA, Tihami dan Sohari Sahrani, 2007, Masail al Fiqhiyah, Jakarta: Diadit Media.
Suminar,Sri Ratna, 2010 Jurnal Aspek Hukum Dan Fiqih Tentang Transaksi Organ Tubuh Untuk Transplantasi Organ Tubuh Manusia, vol. XII, no. 1, FH. Unisba.
Eny, Dkk, Makalah Transfusi Darah Dalam Pandangan Islam, Akademi Keperawatan Yappi Sragen.
Ath-Thariiqi Al-Idhthirar Ilal Ath'imah Wal Adwiyah Al-Muharramah Sumber : islam-qa.com . Note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik, edisi : 033/th.04/Rajab-Sya’ban 1428H/2007M. h. 169, diambil dari: http://www.madinatuliman.com/7/90-bagaimana-hukum-mendonorkan-darah-dalam-pandangan-islam.html.





[1] Djamaluddin Miri, 2007, Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926 – 2004 M), Surabaya: Khalista, h. 459.
[2] Tihami MA dan Sohari Sahrani, 2007, Masail al Fiqhiyah, Jakarta: Diadit Media, h. 158.
[3] Sri Ratna Suminar, 2010, Jurnal Aspek Hukum Dan Fiqih Tentang Transaksi Organ Tubuh Untuk Transplantasi Organ Tubuh Manusia, vol. XII, no. 1, FH. Unisba, h. 35.



[4] Eny, Dkk, Makalah Transfusi Darah Dalam Pandangan Islam, Akademi Keperawatan Yappi Sragen.
[5] Ath-Thariiqi Al-Idhthirar Ilal Ath'imah Wal Adwiyah Al-Muharramah Sumber : islam-qa.com . Note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik, edisi : 033/th.04/Rajab-Sya’ban 1428H/2007M. h. 169, diambil dari : http://www.madinatuliman.com/7/90-bagaimana-hukum-mendonorkan-darah-dalam-pandangan-islam.html.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WIRAUSAHA : PELUANG USAHA

BAB I PENDAHULUAN A.            Latar Belakang Seseorang yang berkemauan keras dalam melakukan suatu tindakan demi memperoleh suat...