Kamis, 31 Januari 2019

USHUL FIQIH : MUTLAQ DAN MUQAYYAD


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Mutlak dan muqayyad dan lapadz mantuk dan mafhum adalah salah satu bagian penting dalam ilmu ushul fiqh dan penting juga untuk istinbat hukum dalam islam,  Jika kita tidak mengetahui / mempelajari tentang lapadz mantuk dan mafhum maka kita bisa salah paham dalam mengartikan lapadz tersebut.
Maka penting bagi kita untuk mengetahui / mempelajari tentang lapadz mantuk dan mafhum. Selain itu,  kami juga akan memaparkan tentang mutlak dan muqayyad secara singkat berikut dengan contoh dan hukum lafadznya sehingga dapat dipahami dan dipelajari dengan baik.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut :
1)      Apa pengertian dari mutlaq dan muqayyad?
2)      Bagaimana hukun lafal mutlaq dan muqayyad?
3)      Apa pengertian manthuq dan mafhum?
4)      Berapakah macam-macam manthuq?
5)      Berapakah macam-macam mafhum?
6)      Bagaimana berhujjah dengan mafhum?

C.    Tujuan
Adapun tujuannya sebagai berikut :
1)      Untuk mengetahui apa pengertian dari mutlaq dan muqayyad.
2)      Untuk mengetahui bagaimana hukun lafal mutlaq dan muqayyad.
3)      Untuk mengetahui apa pengertian manthuq dan mafhum.
4)      Untuk mengetahui ada berapakah macam-macam manthuq.
5)      Untuk mengetahui ada berapakah macam-macam mafhum.
6)      Untuk mengetahui bagaimana berhujjah dengan mafhum.

BAB II
KAIDAH – KAIDAH USHUL FIQH
Mutlak menurut bahasa artinya lepas dari ikatan, sedangkan menurut istilah ialah lafal-lafal yang menunjukkan kepada pengertian dengan tidak ada ikatan (batas) yang tersendiri berupa perkataan. Seperti firman Allah SWT yang artinya” Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang hamba sahaya” (QS. Mujadalahh: 3). Lafadz “Raqabah/ hamba sahaya” adalah lafadz mutlak sebab tidak diterangkan apakah hamba sahaya mukmin atau hamba sahaya kafir.[1] Ini berarti boleh membebaskan hamba sahaya yang tidak mukmin atau hamba sahaya yang mukmin.
Muqayyad menurut bahasa artinya terikat sedangkan menurut istilah ialah suatu lafal yang menunjukkan atas pengertian yang mempunyai batas tertentu berupa perkataan. Seperti firman Allah SWT yang artinya “ Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena bersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman” (QS. An Nisa: 92). Di sini tidak sembarangan hamba sahaya yang dibebaskan tetapi ditentukan hanyalah hamba sahaya yang beriman.[2]

B.     Hukum Lafal Mutlaq dan Muqayyad
Kalau sesuatu soal disebutkan dengan lafal mutlak dan di tempat lain dengan lafal muqayyad, maka ada empat kemungkinan:
1.      Baik mutlak maupun muqayyad terdapat persamaan hukum dan sebabnya. Dalam hal ini mutlak harus dibawa kepada muqayyad. Artinya muqayyad menjadi penjelasan terhadap mutlak.
Contoh lafadz mutlak “Diharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah dan daging babi” (Al-Maidah: 3) dan lafadz muqayyad “Katakanlah: Tidaklah aku peroleh di dalam wahyu yang diturunkan kepadaku, akan sesuatu makanan yang haram atas orang yang hendak memakannya, kecuali bangkai, darah yang mengalir atau daging babi” (Al-An’am: 145).
Kedua ayat tersebut berisi sebab yang sama yaitu hendak makan dan berisi hukum yang sama yaitu haramnya darah. Kalau ayat Al-Maidah ayat 3 tidak disebutkan bentuk darahnya tetapi pada ayat Al-An’am ayat 145 disebutkan darahnya.[3] Dengan demikian makan yang diharamkan ialah darah yang mengalir sedang darah yang tidak mengalir seperti hati, limpa tidak haram.
2.      Berbeda hukum dan sebabnya. Dalam hal ini masing-masing mutlak dan muqayyad tetap pada tempatnya sendiri.
Contoh lafadz mutlak “Pencuri lelaki dan perempuan potonglah tangannnya” dan lafadz muqayyad “Wahai orang mukmin, apabila kamu hendak shalat, hendaklah basuh mukamu dan tanganmu sampai siku”. Jadi, contoh yang muqayyad tidak bisa menjadi penjelasan dari yang mutlak, karena berlainan sebab yakni hendak shalat dan pencurian dan berlainan pula pada hukum, yaitu wudhu dan pemotongan tangan.
3.      Berbeda hukum, tetapi sebabnya sama. Dalam hal ini masing-masing mutlak dan muqayyad tetap pada tempatnya sendiri.
Contoh lafadz mutlak “Tayamum ialah sekali mengusap debu untuk muka dan kedua tangan” (HR. Ammar) dan muqayyad “Basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku” (QS. Al-Maidah: 6). Jadi, yang lafadz muqayyad tidak bisa menjadi penjelasan hadits yang mutlak, karena berbeda hukum yaitu wudhu dan tayamum meskipun sebabnya sama yaitu bersuci (menghilangkan hadas) atau hendak salat.
4.      Berisi hukum yang sama, tetapi berlainan sebabnya. Jadi, yang mutlak harus dibawa kepada yang muqayyad.
Contoh lafadz mutlak “Orang-orang yang menzihar istrinya kemudian mereka hendak menarik apa yang mereka ucapkan maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum keduanya bercampur” dan lafadz muqayyad “Barang siapa yang membunuh orang mukmin dengan tidak disengaja (karena kekeliruan) maka hendaklah membebaskan seorang hamba yang mukmin”. Kedua contoh tersebut berisi hukum yang sama, yaitu pembebasan budak, sedang sebabnya berlainan yang satu karna zhihar yang lain karna pembunuhan yang sengaja.[4] Jadi, keduanya baik mutlak maupun muqayyad berbeda sebab, tetapi hukumnya sama yaitu harus memerdekakan seorang hamba sahaya.

C.    Pengertian Manthuq dan Mafhum
Mantuq menurut bahasa artinya yang diucapkan sedangkan menurut istilah adalah sesuatu hukum yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tentang apa yang dibicarakan. Dengan kata lain manthuq adalah sesuatu makna yang didapat dari ucapan lafadz itu sendiri. Contoh:
بَاالرِّ وَحَرَّمَ
Yang artinya “ dan Allah mengharamkan riba” (Al-Baqarah 275).
Lafadz ini jelas menunjukkan keharaman riba dan yang dibicarakan dalam lafadz itu hanya riba.  Sedangkan mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan (tersirat) atau pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman yang terdapat pada ucapan tersebut. Jadi, pengertian manthuq yaitu ucapan lafal itu sendiri (nyata/ tersurat) sedangkan mafhum yang tidak disebutkan (tiadak nyata/ tersirat). Contohnya:
أُفٍّ لَهُمَا تَقُلْ فَل
Artinya “ Maka jangan kamu katakana kepada dua orang ibu bapakmu perkataan yang keji”. (QS. Al Isra’: 23)
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian manthuq dan mafhum. Pengertian manthuq yaitu ucapan lafal itu sendiri yakni jangan kamu katakan perkataan keji kepada dua orang ibu bapakmu. Sedangkan mafhum yang tidak disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya.[5] Jadi dapat dipahami bahwa mengatakan perkataan keji atau “Ah” tidak boleh apalagi memukul dan menyiksa.

D.    Macam – Macam Manthuq
Pada dasarnya manthuq ini terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1.      Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin dita’wilkan lagi atau diarahkan ke dalam pengertian lain. Contoh dalam firman Allah SWT yang artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S Al-Baqarah:275), Kata al-bai’ (jual beli) atau al-riba adalah suatu lafadz yang jelas pengertianya yang mana untuk memahami kata tersebut tidak membutuhkan ta’wil (asumsi).
2.      Zahir, yaitu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan menghendakinya kepada penta’wilan. Contoh : ”dan langit yang kami bangun dengan tangan” (Q.S. Adz-zariyat: 47). Kalimat tangan ini diartikan dengan kekuasaan karena mustahil Allah mempunyai tangan seperti manusia. Contoh yang lain seperti dalam surah Ar Rahman: 27 yang artinya “ Dan kekal wajah Tuhan engkau”. Wajah diartikan dengan zat karena mustahil bagi Allah mempunyai wajah seperti manusia.

E.     Macam – Macam Mafhum
Mafhum juga dibedakan menjadi dua bagian, yakni:
1.       Mafhum Muwafaqah, yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama dengan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz atau pengertian yang dipahami menurut ucapan lafal yang disebutkan.
2.       Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi (meniadakkan). Oleh sebab itu hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan. Seperti firman Allah dalam surah Jum’at: 9 yang artinya “Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan shalat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakannya dan tinggalkanlah jual beli.” Dari artian ini dipahami bahwa jual beli di hari jum’at sebelum azan si Mu’azin dan sesudah mengerjakan shalat.

F.     Berhujjah dengan Mafhum
Menurut Jumhur Ulama, Mafhum muwafaqah bisa menjadi hujjah begitu juga dengan mafhum mukhalafah bisa menjadi hujjah, kecuali mafhum laqab. Menurut Abu Hanifah dan Ibnu Hazm dari golongan zhahiriyah mengatakan bahwa semua mafhum mukhalafah tidak bisa menjadi hujjah (pegangan). Menyebutkan salah satu sifat, tidak berarti meniadakan sifat-sifat lainnya.[6]
Mafhum mukhalafah bisa menjadi hujjah
-          Mafhum mukhalafah harus lebih kuat daripada dalil lainnya, artinya tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Contoh “Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut miskin”. Mafhumnya, kalau tidak takut miskin berarti boleh membunuh anak tetapi mafhum ini bertentangan dengan dalil manthuq yaitu “Jangan kamu bunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan jalan yang benar”.
-          Selain itu, Mafhum mukhalafah bukan suatu hal yang biasanya terjadi contoh: حُجُورِكُمْ فِي اللَّاتِي وَرَبَائِبُكُمُ  yang artinya “Dan anak-anak istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu”. Perkataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa yang tidak ada dalam pemeliharaan boleh dikawini.
-          Yang disebutkan harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain dan bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan. Contohnya :
وَيَدِهِ لِسَانِهِ مِنْ الْمُسْلِمُونَ سَلِمَ مَنْ الْمُسْلِمُ   yang artinya “Seorang muslim ialah orang yang mana muslim lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya” (HR. Bukhari). Dengan perkataan orang-orang muslim tidak dipahamkan bahwa orang-orang yang bukan islam boleh diganggu. Sebab perkataan “muslimun” hanya sebagai penguat bahwa sesama orang muslim seharusnya lebih manjalin kerukunan.[7]







BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dari semua uraian yang telah dibahas diatas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1.      Mutlak ialah lafal-lafal yang menunjukkan kepada pengertian dengan tidak ada ikatan (batas) yang tersendiri berupa perkataan dan Muqayyad ialah suatu lafal yang menunjukkan atas pengertian yang mempunyai batas tertentu berupa perkataan.
2.      Hukum lafal mutlak dan lafal muqayyad maka ada empat yakni: Tidak berbeda (sama) hokum dan sebabnya, berbeda hukum dan sebabnya, berbeda hukum, tetapi sebabnya sama.
3.      Manthuq yaitu ucapan lafal itu sendiri (nyata/ tersurat) sedangkan mafhum yang tidak disebutkan (tiadak nyata/ tersirat). manthuq ini terbagi menjadi dua bagian yaitu: Nash dan Zahir. Sedangkan mafhum terbagi menjadi dua yakni: Mafhum Muwafaqah dan Mafhum Mukhalafah.
4.       Mafhum muwafaqah bisa menjadi hujjah begitu juga dengan mafhum mukhalafah bisa menjadi hujjah, kecuali mafhum laqab. Namun menurut Abu Hanifah dan Ibnu Hazm dari golongan zhahiriyah mengatakan bahwa semua mafhum mukhalafah tidak bisa menjadi hujjah (pegangan).

B.       Saran
Makalah ini dibuat supaya para pembaca banyak mengetahui lingkungan pendidikan yang sebenarnya. Sehingga, makalah ini dapat digunakan dengan sebaik-baiknya dan dapat bermanfaat bagi kita semua amiin. juga kami mohon maaf apabila ada khilafan dan kesalahan ataupun ada bagian yang tidak kami sebutkan dalam makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
Siswanto, Deding. 1993, Ushul Fiqih Madrasah Aliyah Jilid 2, Bandung: CV. Armico.
Karim, A Syafi’i. 2001, Fiqih – Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia.




















[1] Deding Siswanto, 1993, Ushul Fiqih Madrasah Aliyah Jilid 2, Bandung: CV. Armico, hal. 92
[2] A. Syafi’I Karim, 2001, Fiqih – Ushul Fiqih, Bandung : CV Pustaka Setia, hal. 171-172
[3] Deding Siswanto, hal. 95
[4] A. Syafi’I Karim, hal. 172-176
[5] Ibid, hal. 177.
[6] A. Syafi’I Karim, hal. 186
[7] Ibid, hal. 180-182

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WIRAUSAHA : PELUANG USAHA

BAB I PENDAHULUAN A.            Latar Belakang Seseorang yang berkemauan keras dalam melakukan suatu tindakan demi memperoleh suat...