BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Mutlak dan
muqayyad dan lapadz mantuk dan mafhum adalah salah
satu bagian penting dalam ilmu ushul fiqh dan penting juga untuk istinbat hukum
dalam islam, Jika
kita tidak mengetahui / mempelajari tentang lapadz mantuk dan mafhum maka kita
bisa salah paham dalam mengartikan lapadz tersebut.
Maka penting bagi kita untuk mengetahui
/ mempelajari tentang lapadz mantuk dan mafhum. Selain itu, kami juga akan
memaparkan tentang mutlak dan muqayyad secara singkat berikut dengan contoh dan
hukum lafadznya sehingga dapat dipahami dan dipelajari dengan baik.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya sebagai
berikut :
1)
Apa pengertian dari mutlaq dan muqayyad?
2)
Bagaimana hukun lafal mutlaq dan
muqayyad?
3)
Apa pengertian manthuq dan mafhum?
4)
Berapakah macam-macam manthuq?
5)
Berapakah macam-macam mafhum?
6)
Bagaimana berhujjah dengan mafhum?
C.
Tujuan
Adapun tujuannya sebagai berikut :
1)
Untuk
mengetahui apa pengertian dari mutlaq dan muqayyad.
2)
Untuk
mengetahui bagaimana hukun lafal
mutlaq dan muqayyad.
3)
Untuk
mengetahui apa pengertian manthuq dan mafhum.
4)
Untuk
mengetahui ada berapakah macam-macam manthuq.
5)
Untuk
mengetahui ada berapakah macam-macam mafhum.
6)
Untuk
mengetahui bagaimana berhujjah dengan mafhum.
BAB
II
KAIDAH – KAIDAH USHUL
FIQH
Mutlak menurut
bahasa artinya lepas dari ikatan, sedangkan menurut istilah ialah lafal-lafal
yang menunjukkan kepada pengertian dengan tidak ada ikatan (batas) yang
tersendiri berupa perkataan. Seperti firman Allah SWT yang artinya” Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang
hamba sahaya” (QS. Mujadalahh: 3). Lafadz “Raqabah/ hamba sahaya” adalah
lafadz mutlak sebab tidak diterangkan apakah hamba sahaya mukmin atau hamba
sahaya kafir.[1] Ini berarti boleh membebaskan hamba sahaya yang tidak
mukmin atau hamba sahaya yang mukmin.
Muqayyad
menurut bahasa artinya terikat sedangkan menurut istilah ialah suatu lafal yang
menunjukkan atas pengertian yang mempunyai batas tertentu berupa perkataan.
Seperti firman Allah SWT yang artinya “ Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin
karena bersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”
(QS. An Nisa: 92). Di sini tidak sembarangan hamba sahaya yang dibebaskan
tetapi ditentukan hanyalah hamba sahaya yang beriman.[2]
B.
Hukum Lafal Mutlaq dan Muqayyad
Kalau sesuatu soal disebutkan dengan lafal mutlak dan di
tempat lain dengan lafal muqayyad, maka ada empat kemungkinan:
1.
Baik
mutlak maupun muqayyad terdapat persamaan hukum dan sebabnya. Dalam hal ini
mutlak harus dibawa kepada muqayyad. Artinya muqayyad menjadi penjelasan
terhadap mutlak.
Contoh lafadz mutlak “Diharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah
dan daging babi” (Al-Maidah: 3) dan lafadz muqayyad “Katakanlah: Tidaklah aku peroleh di dalam wahyu yang diturunkan
kepadaku, akan sesuatu makanan yang haram atas orang yang hendak memakannya,
kecuali bangkai, darah yang mengalir atau daging babi” (Al-An’am: 145).
Kedua ayat tersebut berisi sebab
yang sama yaitu hendak makan dan berisi hukum yang sama yaitu haramnya darah. Kalau
ayat Al-Maidah ayat 3 tidak disebutkan bentuk darahnya tetapi pada ayat
Al-An’am ayat 145 disebutkan darahnya.[3]
Dengan demikian makan yang diharamkan ialah darah yang mengalir sedang darah
yang tidak mengalir seperti hati, limpa tidak haram.
2.
Berbeda
hukum dan sebabnya. Dalam hal ini masing-masing mutlak dan muqayyad tetap pada
tempatnya sendiri.
Contoh lafadz mutlak “Pencuri lelaki dan perempuan potonglah
tangannnya” dan lafadz muqayyad “Wahai
orang mukmin, apabila kamu hendak shalat, hendaklah basuh mukamu dan tanganmu sampai
siku”. Jadi, contoh yang muqayyad tidak bisa menjadi penjelasan dari yang
mutlak, karena berlainan sebab yakni hendak shalat dan pencurian dan berlainan
pula pada hukum, yaitu wudhu dan pemotongan tangan.
3.
Berbeda
hukum, tetapi sebabnya sama. Dalam hal ini masing-masing mutlak dan muqayyad
tetap pada tempatnya sendiri.
Contoh lafadz mutlak “Tayamum ialah sekali mengusap debu untuk
muka dan kedua tangan” (HR. Ammar) dan muqayyad “Basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku” (QS. Al-Maidah: 6). Jadi,
yang lafadz muqayyad tidak bisa menjadi penjelasan hadits yang mutlak, karena
berbeda hukum yaitu wudhu dan tayamum meskipun sebabnya sama yaitu bersuci
(menghilangkan hadas) atau hendak salat.
4.
Berisi
hukum yang sama, tetapi berlainan sebabnya. Jadi, yang mutlak harus dibawa
kepada yang muqayyad.
Contoh lafadz mutlak “Orang-orang yang menzihar istrinya kemudian
mereka hendak menarik apa yang mereka ucapkan maka (wajib atasnya) memerdekakan
seorang hamba sahaya sebelum keduanya bercampur” dan lafadz muqayyad “Barang siapa yang membunuh orang mukmin
dengan tidak disengaja (karena kekeliruan) maka hendaklah membebaskan seorang
hamba yang mukmin”. Kedua contoh tersebut berisi hukum yang sama, yaitu
pembebasan budak, sedang sebabnya berlainan yang satu karna zhihar yang lain
karna pembunuhan yang sengaja.[4]
Jadi, keduanya baik mutlak maupun muqayyad berbeda sebab, tetapi hukumnya sama
yaitu harus memerdekakan seorang hamba sahaya.
C.
Pengertian Manthuq dan Mafhum
Mantuq
menurut bahasa artinya yang diucapkan sedangkan menurut istilah adalah sesuatu
hukum yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tentang apa yang dibicarakan. Dengan
kata lain manthuq adalah sesuatu makna yang didapat dari ucapan lafadz itu
sendiri. Contoh:
بَاالرِّ
وَحَرَّمَ
Yang
artinya “ dan Allah mengharamkan riba”
(Al-Baqarah 275).
Lafadz
ini jelas menunjukkan keharaman riba dan yang dibicarakan dalam lafadz itu
hanya riba. Sedangkan
mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat
pengucapan (tersirat) atau pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak
dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman yang terdapat pada ucapan
tersebut. Jadi, pengertian manthuq yaitu ucapan lafal itu sendiri (nyata/
tersurat) sedangkan mafhum yang tidak disebutkan (tiadak nyata/ tersirat). Contohnya:
أُفٍّ
لَهُمَا تَقُلْ فَل
Artinya
“ Maka jangan kamu katakana kepada dua orang ibu bapakmu perkataan yang keji”.
(QS. Al Isra’: 23)
Dalam
ayat tersebut terdapat pengertian manthuq dan mafhum. Pengertian manthuq yaitu
ucapan lafal itu sendiri yakni jangan kamu katakan
perkataan keji kepada dua orang ibu bapakmu.
Sedangkan mafhum yang tidak disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya.[5]
Jadi dapat dipahami bahwa mengatakan perkataan keji atau “Ah” tidak boleh
apalagi memukul dan menyiksa.
D.
Macam – Macam Manthuq
Pada dasarnya manthuq ini terbagi
menjadi dua bagian yaitu:
1. Nash,
yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin dita’wilkan lagi atau
diarahkan ke dalam pengertian lain.
Contoh dalam firman
Allah SWT yang artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba.” (Q.S Al-Baqarah:275), Kata al-bai’ (jual beli) atau al-riba adalah suatu lafadz yang jelas
pengertianya yang mana untuk memahami kata tersebut tidak membutuhkan ta’wil
(asumsi).
2. Zahir,
yaitu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan
menghendakinya kepada penta’wilan. Contoh : ”dan langit yang kami bangun dengan tangan” (Q.S. Adz-zariyat: 47).
Kalimat
tangan ini diartikan dengan kekuasaan karena mustahil Allah mempunyai tangan
seperti manusia. Contoh yang lain seperti dalam surah Ar Rahman: 27 yang
artinya “ Dan kekal wajah Tuhan engkau”.
Wajah diartikan dengan zat karena mustahil bagi Allah mempunyai wajah seperti
manusia.
E.
Macam – Macam Mafhum
Mafhum juga dibedakan
menjadi dua bagian, yakni:
1.
Mafhum Muwafaqah, yaitu apabila hukum
yang dipahamkan sama dengan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz atau
pengertian yang dipahami menurut ucapan lafal yang disebutkan.
2.
Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang
dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi
(meniadakkan). Oleh sebab itu hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada
bunyi lafal yang diucapkan. Seperti firman Allah dalam surah Jum’at: 9 yang
artinya “Apabila kamu dipanggil untuk
mengerjakan shalat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakannya dan
tinggalkanlah jual beli.” Dari artian ini dipahami bahwa jual beli di hari
jum’at sebelum azan si Mu’azin dan sesudah mengerjakan shalat.
F.
Berhujjah dengan Mafhum
Menurut Jumhur Ulama, Mafhum
muwafaqah bisa menjadi hujjah begitu juga dengan mafhum mukhalafah bisa menjadi
hujjah, kecuali mafhum laqab. Menurut Abu Hanifah dan Ibnu Hazm dari golongan
zhahiriyah mengatakan bahwa semua mafhum mukhalafah tidak bisa menjadi hujjah
(pegangan). Menyebutkan salah satu sifat, tidak berarti meniadakan sifat-sifat
lainnya.[6]
Mafhum mukhalafah bisa menjadi
hujjah
-
Mafhum
mukhalafah harus lebih kuat daripada dalil lainnya, artinya tidak bertentangan
dengan dalil yang lebih kuat. Contoh “Jangan
kamu bunuh anak-anakmu karena takut miskin”. Mafhumnya, kalau tidak takut
miskin berarti boleh membunuh anak tetapi mafhum ini bertentangan dengan dalil
manthuq yaitu “Jangan kamu bunuh manusia
yang dilarang Allah kecuali dengan jalan yang benar”.
-
Selain
itu, Mafhum mukhalafah bukan suatu hal yang biasanya terjadi contoh: حُجُورِكُمْ فِي اللَّاتِي وَرَبَائِبُكُمُ
yang artinya “Dan anak-anak istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu”.
Perkataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa yang
tidak ada dalam pemeliharaan boleh dikawini.
-
Yang
disebutkan harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain dan bukan
dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan. Contohnya :
وَيَدِهِ لِسَانِهِ مِنْ الْمُسْلِمُونَ سَلِمَ مَنْ الْمُسْلِمُ
yang artinya “Seorang
muslim ialah orang yang mana muslim lain selamat dari gangguan lisan dan
tangannya” (HR. Bukhari). Dengan perkataan orang-orang muslim
tidak dipahamkan bahwa orang-orang yang bukan islam boleh diganggu. Sebab
perkataan “muslimun” hanya sebagai penguat bahwa sesama orang muslim seharusnya
lebih manjalin kerukunan.[7]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
semua uraian yang telah dibahas diatas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut :
1.
Mutlak ialah lafal-lafal yang menunjukkan kepada
pengertian dengan tidak ada ikatan (batas) yang tersendiri berupa perkataan dan Muqayyad
ialah suatu lafal yang menunjukkan atas pengertian yang mempunyai batas
tertentu berupa perkataan.
2.
Hukum lafal mutlak dan lafal muqayyad maka ada empat yakni: Tidak berbeda (sama) hokum dan
sebabnya, berbeda hukum dan sebabnya, berbeda hukum, tetapi sebabnya sama.
3.
Manthuq
yaitu ucapan lafal itu sendiri (nyata/ tersurat) sedangkan mafhum yang tidak
disebutkan (tiadak nyata/ tersirat).
manthuq
ini terbagi menjadi dua bagian yaitu:
Nash dan Zahir. Sedangkan mafhum terbagi menjadi dua yakni: Mafhum
Muwafaqah dan Mafhum Mukhalafah.
4. Mafhum muwafaqah bisa menjadi hujjah begitu juga dengan mafhum mukhalafah
bisa menjadi hujjah, kecuali mafhum laqab. Namun menurut Abu Hanifah dan Ibnu Hazm
dari golongan zhahiriyah mengatakan bahwa semua mafhum mukhalafah tidak bisa
menjadi hujjah (pegangan).
B. Saran
Makalah
ini dibuat supaya para pembaca banyak mengetahui lingkungan pendidikan yang sebenarnya. Sehingga, makalah ini dapat digunakan dengan
sebaik-baiknya dan dapat bermanfaat bagi kita semua amiin. juga kami mohon maaf
apabila ada khilafan dan kesalahan ataupun ada bagian yang tidak kami sebutkan
dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Siswanto, Deding. 1993, Ushul
Fiqih Madrasah Aliyah Jilid 2, Bandung: CV. Armico.
Karim, A Syafi’i. 2001, Fiqih –
Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar