Kamis, 31 Januari 2019

DIAKNOSIS KESULITAN BELAJAR : SUASANA BELAJAR


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Seorang guru adalah seorang pendidik, tugas ini merupakan amanah yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap orang tua termasuk seorang guru. Mendidik memang bukan tugas yang mudah karena pendidikan adalah proses yang sangat panjang dan keberhasilannya ditentukan berbagai faktor, salah satunya suasana pada saat kegiatan pembelajaran dilakukan. Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan adalah memunculkan suasana yang menyenangkan bagi siswa ketika siswa belajar dengan begitu siswa akan lebih aktif dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.
Dalam pembelajaran terdapat alternatif model pembelajaran yang dapat diterapkan sehingga tercipta suasana belajar yang lebih menyenangkan dan bahkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Model pembelajaran yang dapat diterapakan guru di kelas diantaranya, model pembelajaran individual (individualistic learning), model pembelajaran kompetitif (competitive learning) dan model pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Untuk menciptakan suasana belajar yang sehat maka seorang guru setidaknya mengetahui tentang suasana belajar kooperatif, kompetitif dan individualistik.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Suasana Belajar Kooperatif
Cooperative learning atau pembelajaran kooperatif berasal dari kata cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim. Kelough & Kelough dalam Kasihani menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif merupakan suatu strategi pembelajaran secara berkelompok, siswa belajar bersama dan saling membantu dalam menyelesaikan tugas dengan penekanan pada saling support di antara anggota kelompok, karena keberhasilan belajar siswa tergantung pada keberhasilan kelompoknya. Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran belum tuntas atau belum berhasil jika hanya beberapa siswa yang mampu menyerap dan memahami materi pelajaran yang dirancang guru di kelas.[1]
 Lasmawan dalam Dimyati, menyatakan belajar kooperatif (cooperative learning) adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dan enam orang, dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen. Mulyadiana, menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif sebagai suatu lingkungan belajar, dimana siswa bekerja bersama dalam kelompok heterogen untuk menyelesaikan tujuan bersama. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen.
Menurut Mulyadiana, terdapat empat prinsip dasar pembelajaran kooperatif, seperti dijelaskan di bawah ini:
1.      Prinsip Ketergantungan Positif (positive interdependence).
Dalam pembelajaran kelompok, keberhasilan suatu penyelesaian tugas sangat tergantung kepada usaha yang dilakukan setiap anggota kelompoknya. Oleh sebab itu, perlu disadari oleh setiap anggota kelompok keberhasilan penyelesaian tugas kelompok akan ditentukan oleh kinerja masing-masing anggota. Dengan demikian, semua anggota dalam kelompok akan merasa saling ketergantungan. Untuk terciptanya kelompok kerja yang efektif, setiap anggota kelompok masing-masing perlu membagi tugas sesuai dengan tujuan kelompoknya. Tugas tersebut tentu saja disesuaikan dengan kemampuan setiap anggota kelompok. Inilah hakikat ketergantungan positif, artinya tugas kelompok tidak mungkin bisa diselesaikan ketika ada anggota yang tak bisa menyelesaikan tugasnya, dan semua ini memerlukan kerja sama yang baik dari masing-masing anggota kelompok.
2.      Tanggung Jawab Perseorangan (individual accountability)
Oleh karena keberhasilan kelompok tergantung pada setiap anggotanya, maka setiap anggota kelompok harus memiliki tanggung jawab sesuai dengan tugasnya. Setiap anggota harus memberikan yang terbaik untuk keberhasilan kelompoknya. Untuk mencapai hal tersebut, guru perlu memberikan penilaian terhadap individu dan juga kelompok. Penilaian individu bisa berbeda, akan tetapi penilaian kelompok harus sama.
3.      Interaksi Tatap Muka (face to face promotion interaction)
Pembelajaran kooperatif memberi ruang dan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka, saling memberikan informasi dan saling membelajarkan. Interaksi tatap muka akan memberikan pengalaman yang berharga kepada setiap anggota kelompok untuk bekerja sama, menghargai setiap perbedaan, rnemanfaatkan kelebihan masing-masing anggota, dan mengisi kekurangan masing-masing.
4.      Partisipasi dan Komunikasi (participation communication)
Pembelajaran kooperatif melatih siswa untuk dapat mampu berpartisipasi aktif dan berkomunikasi. Oleh sebab itu, sebelum melakukan kooperatif, guru perlu membekali siswa dengan kemampuan berkomunikasi. Untuk dapat melakukan partisipasi dan komunikasi, siswa perlu dibekali dengan kemampuan-kemampuan berkomunikasi. Misalnya, cara menyatakan ketidaksetujuan atau cara menyanggah pendapat orang lain secara santun, tidak memojokkan, cara menyampaikan gagasan. dan ide-ide yang dianggapnya baik dan berguna. Oleh sebab itu, guru perlu terus melatih dan melatih, sampai pada akhirnya setiap siswa memiliki kemampuan untuk menjadi komunikator yang baik.[2]
Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran kelompok yang dalam proses pembelajaran berpusat pada peserta didik sehingga dalam proses pembelajaran menghendaki peserta didik aktif dan adanya kerjasama antar anggota kelompok. Model pembelajaran kelompok adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan.[3] Penerapan model pembelajaran kooperatif  mengacu pada langkah-langkah seperti yang diungkapkan oleh Slavin yaitu mengidentifikasikan topik dan mengatur peserta didik ke dalam kelompok, merencanakan tugas yang akan dipelajari, melaksanakan investigasi, menyiapkan laporan akhir, presentasi laporan akhir, dan melakukan evaluasi.[4]
Menurut Saputra dan Rudyanto pada hakekatnya, metode pembelajaran kooperatif merupakan metode atau strategi pembelajaran gotong-royong yang konsepnya hampir tidak jauh berbeda dengan metode pembelajaran kelompok. Pembelajaran kooperatif proses pembelajaran tidak harus belajar dari guru kepada siswa. Siswa dapat saling membelajarkan sesama siswa lainnya.[5] Dalam melakukan proses belajar-mengajar guru tidak lagi mendominasi, siswa dituntut untuk berbagi informasi dengan siswa yang lainnya dan saling belajar-mengajar sesama mereka.[6] Menurut Isjoni, pada model kooperatif siswa diberi kesempatan untuk berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan temannya untuk mencapai tujuan pembelajaran, sementara guru bertindak sebagai motivator dan fasilitator aktivitas siswa. Artinya dalam pembelajaran ini kegiatan aktif dengan pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa dan mereka bertanggung jawab atas hasil pembelajarannya.[7]
Beberapa tipe pembelajaran kooperatif :  pertama. Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw, Jigsaw menurut Slavin, dapat digunakan apabila materi yang dipelajari adalah yang berbentuk materi tertulis.[8] Dalam pembelajaran kooperatif tipe jigsaw para siswa bekerja dalam tim yang heterogen, para siswa tersebut diberikan tugas untuk membaca beberapa bab atau unit dan diberikan “lembar ahli” yang dibagi atas topik-topik yang berbeda, yang harus menjadi fokus perhatian masing-masing anggota tim saat mereka membaca. Setelah semua siswa selesai membaca, siswa-siswa yang dari tim yang bereda yang memiliki fokus topik yang sama bertemu dalam “kelompok ahli” untuk mendiskusikan topik mereka. Setelah itu para ahli kembali ke timnya secara bergantian mengajari teman satu timnya mengenai topik mereka.
Kedua, Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT, menurut A’la, Numbered Head Together (NHT) adalah suatu metode belajar berkelompok dan setiap siswa diberi nomor kemudian guru memanggil nomor dari siswa secara acak. Ketiga, Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD, menurut Slavin pembelajaran Student Teams Achievement Divisions ( STAD ) merupakan salah satu dari tipe pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, dalam pembelajaran kooperatif tipe ini siswa ditempatkan dalam kelompok belajar beranggotakan empat orang yang merupakan campuran menurut tingkat kinerja, jenis kelamin, dan suku. Guru menyajikan pelajaran kemudian siswa bekerja di kelompok mereka untuk memastikan bahwa seluruh anggota kelompok telah menguasai materi tersebut.[9]
Menurut Jarolimek dan Parker mengatakan keunggulan yang diperoleh dalam pembelajaran kooperatif adalah: 1) Saling ketergantungan yang positif, 2) Adanya pengakuan dalam merespon perbedaan individu, 3) Siswa dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kelas, 4) Suasana kelas yang rileks dan menyenangkan, 5) Terjalinnya hubungan yang hangat dan bersahabat antara siswa dengan guru, dan 6) Memiliki banyak kesempatan untuk mengekspresikan pengalaman emosi yang menyenangkan.[10]
Selain itu, belajar dalam kelompok memiliki beberapa keuntungan diantaranya: 1) dapat membantu memahami mata pelajaran yang sulit, sebab terkadang kita dapat saling bertanya seputar mata pelajaran yang belum dimengerti, 2) dapat membantu teman yang tidak masuk sekolah atau tidak mengikuti satu atau dua materi yang disampaikan guru sehingga dia dapat bertanya dan membahasnya di dalam belajar kelompok, 3) dapat dijadikan alat ukur kemampuan siswa dalam penguasaan mata pelajaran, dan 4) sebagai media untukmemupuk rasa persahabatan dan saling tolong-menolong terutama dalam hal menguasai mata pelajaran.[11]
           
B.     Suasana Belajar Kompetitif
Kompetisi atau persaingan dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai usaha untuk memperlihatkan keunggulan masing-masing yang dilakukan oleh perseorangan. Dapat kita pahami bahwa kompetisi yang dimaksud disini adalah usaha yang timbul pada diri siswa dikarenakan dorongan untuk menunjukkan kemampuan dan keunggulan masing-masing dalam proses pembelajaran.
Menurut Mulyasa, cara membangkitkan nafsu belajar pada peserta didik dapat dengan cara memanfaatkan sikap, cita-cita, rasa ingin tahu, dan ambisi peserta didik.[12] Dengan demikian dapat kita pahami bahwa persaingan atau kompetisi terdapat ambisi pada peserta didik dalam hal ini adalah ambisi untuk belajar supaya tujuan belajar dapat tercapai, yang akan menimbulkan motivasi dari peserta didik.
Ada dua prinsip yang sangat perlu diperhatikan oleh guru dalam menggunakan interaksi pembelajaran kompetitif, yaitu (1) kompetisi harus antar individu atau antar kelompok yang berkemampuan seimbang, dan (2) kompetisi dilakukan hanya untuk selingan yang menyenangkan, bukan kompetisi perjuangan hidup-mati. Jika guru ingin menciptakan kompetisi antar individu maka individu yang saling berkompetisi harus memiliki peluang yang sama untuk kalah atau menang. Begitu pula jika kompetisi tersebut antar kelompok.
Dalam kompetisi harus terdapat kesepakatan yang sama untuk menang, kompetisi harus mengandung suatu tingkat kesamaan dalam sifat-sifat para peserta. Ada tiga ciri dari persaingan diantara siswa yang efektif: 1) Kompetisi interpersonal antara teman-teman sebaya sering menimbulkan semangat persaingan. 2) Kompetisi kelompok di mana setiap anggota dapat memberikan sumbangan dan terlibat di dalam keberhasilan kelompok merupakan motivasi yang sangat kuat. 3) Kompetisi dengan diri sendiri, yaitu dengan catatan tentang prestasi terdahulu, dapat merupakan motivasi yang efektif.[13]
Persaingan yang sehat di antara para siswa memberikan kesempatan kepada untuk mengukur kemampuan dirinya melalui kemampuan orang lain, lain daripada itu, belajar dengan bersaing menimbulkan upaya belajar yang sungguh-sungguh, disini digunakan pula prinsip keinginan individu untuk selalu lebih baik dari orang lain. Menurut Sardiman, saingan atau kompetisi dapat digunakan sebagai alat motivasi untuk mendorong belajar siswa. Persaingan, baik persaingan individual ataupun kelompok dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Memang unsur persaingan ini banyak dimanfaatkan dalam dunia industri atau perdagangan, tetapi juga sangat baik digunakan untuk meningkatkan kegiatan belajar siswa.[14]
Kompetisi merupakan persaingan yang menunjuk kepada kata sifat siap bersaing dalam kondisi nyata dari setiap hal atau aktivitas yang dijalani. Ketika peserta didik bersikap kompetitif, maka berarti ia memiliki sikap siap serta berani bersaing dengan orang lain. Dalam arti yang positif dan optimis, kompetisi bisa diarahkan kepada kesiapan dan kemampuan untuk mencapai kemajuan sebagai peserta didik. Kompetisi seperti ini merupakan motivasi diri sekaligus factor penggali dan pengembang potensi diri dalam menghadapi bentuk-bentuk kompetisi, sehingga kompetisi tidak semata-mata diarahkan untuk mendapatkan kemenangan dan mengalahkan lawan. Dengan memaknai kompetisi seperti itu, kompetitor lain sebagai partner (bukan lawan) yang memotivasi diri untuk meraih prestasi.

C.    Suasana Belajar Individualistik
Menurut Wina Sanjaya  strategi pembelajaran individual dilakukan oleh siswa secara mandiri. Kecepatan, kelambatan dan keberrhasilan pembelajaran siswa sangat ditentukan oleh kemampuan individu yang bersangkutan. Bahan pembelajaran serta bagaimana mempelajarinya didesain untuk belajar sendiri.
Pada pembelajaran individual ini siswa dituntut dapat belajar secara mandiri, tanpa adanya kerjasama dengan orang lain. Sisi positif penggunaan pembelajaran ini adalah terbangunya rasa percaya diri siswa, siswa menjadi mandiri dalam melaksanakan pembelajaran, siswa tidak memiliki ketergantungan pada orang lain. Namun di sisi lain terdapat kelemahan strategi pembelajaran ini, diantaranya jika siswa menemukan kendala dalam pembelajaran, minat dan perhatian siswa justru dikhawatirkan berkurang karena kurangnya komunikasi belajar antar siswa, sementara enggan beratanya kepada guru, tidak membiasakan siswa bekerjasama dalam sebuah team.[15]
Mercer dan Mercer mengemukakan bahwa “ pembelajaran individual menunjuk pada suatu pembelajaran dimana siswa bekerja dengan tugas-tugas yang sesuai dengan kondisi dan motivasinya”. Menurut Sudjana, pengajaran individual merupakan suatu upaya untuk memberikan kesempatan kepada siswa agar dapat belajar sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, kecepatan dan caranya sendiri.[16] Jadi, pembelajaran individual adalah pembelajaran yang menekankan pada cara belajar siswa yang sesuai dengan kebutuhan, minat, dan kemampuannya serta pengajaran yang diberikan kepada siswa seorang demi seorang secara terpisah.
Dalam pembelajaran individual ini, setiap anak didik belajar dengan kecepatan yang sesuai dengan kemampuan mereka sendiri. Sebagaiman yang diungkapkan oleh Ralph Emerson don Henry David Thoreau “percayailah dirimu sendiri". Dalam praktik pembelajaran individual di kelas, ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu: 1) guru harus menyadari adanya tingkat perkembangan kognitif anak sehingga guru harus memberikan tugas yang sesuai dengan kemampuannya, 2) orientasi perhatian guru lebih kepada siswa secara individual daripada kelompok karena adanya perbedaan perkembangan kognitifnya, dan 3) adanya kontrol siswa terhadap cara belajarnya sendiri. Ada kemungkinan waktu yang diperlukan berbeda untuk setiap siswa pada tugas yang sama.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen.
Persaingan atau kompetisi terdapat ambisi pada peserta didik dalam hal ini adalah ambisi untuk belajar supaya tujuan belajar dapat tercapai, yang akan menimbulkan motivasi dari peserta didik. Pembelajaran individual adalah pembelajaran yang menekankan pada cara belajar siswa yang sesuai dengan kebutuhan, minat, dan kemampuannya serta pengajaran yang diberikan kepada siswa seorang demi seorang secara terpisah.
B.     Saran
Semoga dengan selesainya tugas makalah ini dapat bermanfaat bagi seorang calon guru untuk dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan ketika sudah menjadi guru nantinya. Bukan suasana belajar yang monoton dan dapat membuat siswa menjadi bosan, tetapi suasana belajar yang penuh dengan semangat siswa dalam menerima pelajaran yang diberikan guru. Apabila suasana belajar sudah menyenangkan maka siswa pun akan bersemangat dalam mengikuti kegiatan pembelajaran, sehingga materi yang diberikan guru akan lebih cepat dipahami oleh siswa.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Hamalik, Oemar, Psikologi Belajar Mengajar, Sinar Baru Aglesindo, Bandung, 2010.
Isnoji, Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi Antara Peserta Didik, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009.
________, Cooperative Learning Efektivitas Pembelajaran Kelompok, Alfabeta, Bandung, 2010.
Mulyasa, E., Menjadi Guru Profesional, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007.
Nurdyansyah dan Eni Fariyatul Fahyuni, Inovasi Model Pembelajaran Sesuai Kurikulum 2013, cet. 1, Nizamial Learning Center, Sidoarjo, 2016.
Sardiman, Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012.
Sanjaya, Wina, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Prenada Media Group, Jakarta, 2006.
______________, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Kencana, Jakarta, 2008.
Saputra dan Rudyanto, Pembelajaran Kooperatif untuk Meningkatkan Ketrampilan Anak TK, Depdikbud, Jakarta, 2005.
Slavin, Robert E, Cooverative Lerning (Teori, Riset, Praktik), Nusa Media, Bandung, 2009.
______, Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2010.
Sudjana, Nana, Teknologi Pengajaran, Sinar Baru, Bandung, 2009.
Trisnayadi, Tuwuh, Bimbingan Karier Untuk Pelajar Muslim, Erlangga, Jakarta, 2003.
Trianto, Model-model Pembelajaran Inovaif Berorientasi Konstruktivitistik, Konsep, Landasan Teoritis-Praktis dan Implernentasinya, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta , 2007.


[1] Nurdyansyah dan Eni Fariyatul Fahyuni, Inovasi Model Pembelajaran Sesuai Kurikulum 2013, cet. 1, Nizamial Learning Center, Sidoarjo, 2016, h. 53.
[2] Trianto, Model-model Pembelajaran Inovaif Berorientasi Konstruktivitistik, Konsep, Landasan Teoritis-Praktis dan Implernentasinya, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta , 2007, h. 10.
[3] Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Prenada Media Group, Jakarta, 2006, h. 239.
[4] Robert E. Slavin, Cooverative Lerning (Teori, Riset, Praktik), Nusa Media, Bandung, 2009, h. 26.
[5] Saputra dan Rudyanto, Pembelajaran Kooperatif untuk Meningkatkan Ketrampilan Anak TK, Depdikbud, Jakarta, 2005, h. 49.
[6] Isjoni, Cooperative Learning Efektivitas Pembelajaran Kelompok, Alfabeta, Bandung, 2010, h. 10.
[7] Isnoji, Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi Antara Peserta Didik, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009, h. 5.            
[8] Slavin, Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2010, h. 237.
[9]  Ibid, h. 143.
[10]  Isjoni, op.cit, 2010, h. 24.
[11] Tuwuh Trisnayadi, Bimbingan Karier Untuk Pelajar Muslim, Erlangga, Jakarta, 2003, h. 66.
[12] E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007, h. 176.
[13] Oemar Hamalik, Psikologi Belajar Mengajar, Sinar Baru Aglesindo, Bandung, 2010, h. 185.
[14] Sardiman, Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012,  h. 93.
[15] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Kencana, Jakarta, 2008, h. 128.
[16] Nana Sudjana, Teknologi Pengajaran, Sinar Baru, Bandung, 2009, h. 116.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WIRAUSAHA : PELUANG USAHA

BAB I PENDAHULUAN A.            Latar Belakang Seseorang yang berkemauan keras dalam melakukan suatu tindakan demi memperoleh suat...