BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Seorang guru
adalah seorang pendidik, tugas ini merupakan amanah yang diberikan Tuhan Yang
Maha Esa kepada setiap orang tua termasuk seorang guru. Mendidik memang
bukan tugas yang mudah karena pendidikan adalah proses yang sangat panjang dan
keberhasilannya ditentukan berbagai faktor, salah satunya suasana pada saat kegiatan
pembelajaran dilakukan.
Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan adalah memunculkan suasana
yang menyenangkan bagi siswa ketika siswa belajar dengan begitu siswa akan
lebih aktif dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.
Dalam
pembelajaran terdapat alternatif model
pembelajaran yang dapat diterapkan sehingga tercipta suasana belajar yang lebih
menyenangkan dan bahkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Model
pembelajaran yang dapat diterapakan guru di kelas diantaranya, model
pembelajaran individual (individualistic learning),
model pembelajaran kompetitif (competitive
learning) dan model pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Untuk menciptakan suasana belajar yang sehat
maka seorang guru setidaknya mengetahui tentang suasana belajar kooperatif,
kompetitif dan individualistik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Suasana Belajar Kooperatif
Cooperative learning
atau pembelajaran kooperatif berasal dari kata cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama
dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim. Kelough & Kelough dalam
Kasihani menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif merupakan suatu
strategi pembelajaran secara berkelompok, siswa belajar bersama dan saling
membantu dalam menyelesaikan tugas dengan penekanan pada saling support di
antara anggota kelompok, karena keberhasilan belajar siswa tergantung pada
keberhasilan kelompoknya. Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran belum tuntas
atau belum berhasil jika hanya beberapa siswa yang mampu menyerap dan memahami
materi pelajaran yang dirancang guru di kelas.[1]
Lasmawan dalam Dimyati, menyatakan
belajar kooperatif (cooperative learning)
adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam
kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dan enam
orang, dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen. Mulyadiana, menyatakan
bahwa pembelajaran kooperatif sebagai suatu lingkungan belajar, dimana siswa
bekerja bersama dalam kelompok heterogen untuk menyelesaikan tujuan bersama.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan bentuk pembelajaran dengan cara
siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang
anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang
bersifat heterogen.
Menurut Mulyadiana, terdapat empat
prinsip dasar pembelajaran kooperatif, seperti dijelaskan di bawah ini:
1.
Prinsip
Ketergantungan Positif (positive
interdependence).
Dalam
pembelajaran kelompok, keberhasilan suatu penyelesaian tugas sangat tergantung
kepada usaha yang dilakukan setiap anggota kelompoknya. Oleh sebab itu, perlu
disadari oleh setiap anggota kelompok keberhasilan penyelesaian tugas kelompok
akan ditentukan oleh kinerja masing-masing anggota. Dengan demikian, semua
anggota dalam kelompok akan merasa saling ketergantungan. Untuk terciptanya
kelompok kerja yang efektif, setiap anggota kelompok masing-masing perlu
membagi tugas sesuai dengan tujuan kelompoknya. Tugas tersebut tentu saja
disesuaikan dengan kemampuan setiap anggota kelompok. Inilah hakikat
ketergantungan positif, artinya tugas kelompok tidak mungkin bisa diselesaikan
ketika ada anggota yang tak bisa menyelesaikan tugasnya, dan semua ini
memerlukan kerja sama yang baik dari masing-masing anggota kelompok.
2.
Tanggung
Jawab Perseorangan (individual
accountability)
Oleh
karena keberhasilan kelompok tergantung pada setiap anggotanya, maka setiap anggota
kelompok harus memiliki tanggung jawab sesuai dengan tugasnya. Setiap anggota
harus memberikan yang terbaik untuk keberhasilan kelompoknya. Untuk mencapai
hal tersebut, guru perlu memberikan penilaian terhadap individu dan juga
kelompok. Penilaian individu bisa berbeda, akan tetapi penilaian kelompok harus
sama.
3.
Interaksi
Tatap Muka (face to face promotion
interaction)
Pembelajaran
kooperatif memberi ruang dan kesempatan yang luas kepada setiap anggota
kelompok untuk bertatap muka, saling memberikan informasi dan saling
membelajarkan. Interaksi tatap muka akan memberikan pengalaman yang berharga
kepada setiap anggota kelompok untuk bekerja sama, menghargai setiap perbedaan,
rnemanfaatkan kelebihan masing-masing anggota, dan mengisi kekurangan masing-masing.
4.
Partisipasi
dan Komunikasi (participation
communication)
Pembelajaran
kooperatif melatih siswa untuk dapat mampu berpartisipasi aktif dan
berkomunikasi. Oleh sebab itu, sebelum melakukan kooperatif, guru perlu
membekali siswa dengan kemampuan berkomunikasi. Untuk dapat melakukan
partisipasi dan komunikasi, siswa perlu dibekali dengan kemampuan-kemampuan
berkomunikasi. Misalnya, cara menyatakan ketidaksetujuan atau cara menyanggah
pendapat orang lain secara santun, tidak memojokkan, cara menyampaikan gagasan.
dan ide-ide yang dianggapnya baik dan berguna. Oleh sebab itu, guru perlu terus
melatih dan melatih, sampai pada akhirnya setiap siswa memiliki kemampuan untuk
menjadi komunikator yang baik.[2]
Model pembelajaran kooperatif
merupakan suatu model pembelajaran kelompok yang dalam proses pembelajaran
berpusat pada peserta didik sehingga dalam proses pembelajaran menghendaki
peserta didik aktif dan adanya kerjasama antar anggota kelompok. Model
pembelajaran kelompok adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh
siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang
telah dirumuskan.[3]
Penerapan model pembelajaran kooperatif
mengacu pada langkah-langkah seperti yang diungkapkan oleh Slavin yaitu
mengidentifikasikan topik dan mengatur peserta didik ke dalam kelompok,
merencanakan tugas yang akan dipelajari, melaksanakan investigasi, menyiapkan
laporan akhir, presentasi laporan akhir, dan melakukan evaluasi.[4]
Menurut Saputra dan Rudyanto pada
hakekatnya, metode pembelajaran kooperatif merupakan metode atau strategi
pembelajaran gotong-royong yang konsepnya hampir tidak jauh berbeda dengan
metode pembelajaran kelompok. Pembelajaran kooperatif proses pembelajaran tidak
harus belajar dari guru kepada siswa. Siswa dapat saling membelajarkan sesama
siswa lainnya.[5]
Dalam melakukan proses belajar-mengajar guru tidak lagi mendominasi, siswa
dituntut untuk berbagi informasi dengan siswa yang lainnya dan saling
belajar-mengajar sesama mereka.[6]
Menurut Isjoni, pada model kooperatif siswa diberi kesempatan untuk
berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan temannya untuk mencapai tujuan
pembelajaran, sementara guru bertindak sebagai motivator dan fasilitator
aktivitas siswa. Artinya dalam pembelajaran ini kegiatan aktif dengan
pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa dan mereka bertanggung jawab atas hasil
pembelajarannya.[7]
Beberapa
tipe pembelajaran kooperatif : pertama. Pembelajaran
Kooperatif tipe Jigsaw, Jigsaw menurut Slavin, dapat digunakan apabila materi
yang dipelajari adalah yang berbentuk materi tertulis.[8] Dalam
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
para siswa bekerja dalam tim yang heterogen, para siswa
tersebut diberikan tugas untuk membaca beberapa bab atau unit dan diberikan
“lembar ahli” yang dibagi atas topik-topik
yang berbeda, yang harus menjadi fokus perhatian
masing-masing anggota tim saat mereka membaca. Setelah semua siswa selesai
membaca, siswa-siswa yang dari tim yang bereda yang memiliki fokus topik yang
sama bertemu dalam “kelompok ahli” untuk mendiskusikan topik mereka. Setelah
itu para ahli kembali ke timnya secara bergantian mengajari teman satu timnya
mengenai topik mereka.
Kedua, Pembelajaran
Kooperatif Tipe NHT, menurut A’la, Numbered
Head Together (NHT) adalah suatu metode belajar berkelompok dan setiap
siswa diberi nomor kemudian guru memanggil nomor dari siswa secara acak. Ketiga, Pembelajaran Kooperatif Tipe
STAD, menurut Slavin pembelajaran Student
Teams Achievement Divisions ( STAD ) merupakan salah satu dari tipe
pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, dalam pembelajaran kooperatif
tipe ini siswa ditempatkan dalam kelompok belajar beranggotakan empat orang
yang merupakan campuran menurut tingkat kinerja, jenis kelamin, dan suku. Guru
menyajikan pelajaran kemudian siswa bekerja di kelompok mereka untuk memastikan
bahwa seluruh anggota kelompok telah menguasai materi tersebut.[9]
Menurut Jarolimek dan Parker
mengatakan keunggulan yang diperoleh dalam pembelajaran kooperatif adalah: 1) Saling
ketergantungan yang positif, 2) Adanya pengakuan dalam merespon perbedaan
individu, 3) Siswa dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kelas, 4) Suasana
kelas yang rileks dan menyenangkan, 5) Terjalinnya hubungan yang hangat dan
bersahabat antara siswa dengan guru, dan 6) Memiliki banyak kesempatan untuk
mengekspresikan pengalaman emosi yang menyenangkan.[10]
Selain itu, belajar dalam kelompok
memiliki beberapa keuntungan diantaranya: 1) dapat membantu memahami mata
pelajaran yang sulit, sebab terkadang kita dapat saling bertanya seputar mata
pelajaran yang belum dimengerti, 2) dapat membantu teman yang tidak masuk
sekolah atau tidak mengikuti satu atau dua materi yang disampaikan guru
sehingga dia dapat bertanya dan membahasnya di dalam belajar kelompok, 3) dapat
dijadikan alat ukur kemampuan siswa dalam penguasaan mata pelajaran, dan 4)
sebagai media untukmemupuk rasa persahabatan dan saling tolong-menolong
terutama dalam hal menguasai mata pelajaran.[11]
B.
Suasana Belajar Kompetitif
Kompetisi atau persaingan dalam
kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai usaha untuk memperlihatkan
keunggulan masing-masing yang dilakukan oleh perseorangan. Dapat kita pahami
bahwa kompetisi yang dimaksud disini adalah usaha yang timbul pada diri siswa
dikarenakan dorongan untuk menunjukkan kemampuan dan keunggulan masing-masing
dalam proses pembelajaran.
Menurut Mulyasa, cara membangkitkan
nafsu belajar pada peserta didik dapat dengan cara memanfaatkan sikap,
cita-cita, rasa ingin tahu, dan ambisi peserta didik.[12] Dengan demikian dapat kita pahami
bahwa persaingan atau kompetisi terdapat ambisi pada peserta didik dalam hal
ini adalah ambisi untuk belajar supaya tujuan belajar dapat tercapai, yang akan
menimbulkan motivasi dari peserta didik.
Ada
dua prinsip yang sangat perlu diperhatikan oleh guru dalam menggunakan
interaksi pembelajaran kompetitif, yaitu (1) kompetisi harus antar individu
atau antar kelompok yang berkemampuan seimbang, dan (2) kompetisi dilakukan
hanya untuk selingan yang menyenangkan, bukan kompetisi perjuangan hidup-mati.
Jika guru ingin menciptakan kompetisi antar individu maka individu yang saling
berkompetisi harus memiliki peluang yang sama untuk kalah atau menang. Begitu
pula jika kompetisi tersebut antar kelompok.
Dalam kompetisi harus terdapat
kesepakatan yang sama untuk menang, kompetisi harus mengandung suatu tingkat
kesamaan dalam sifat-sifat para peserta. Ada tiga ciri dari persaingan diantara
siswa yang efektif: 1) Kompetisi interpersonal antara teman-teman sebaya sering
menimbulkan semangat persaingan. 2) Kompetisi kelompok di mana setiap anggota
dapat memberikan sumbangan dan terlibat di dalam keberhasilan kelompok
merupakan motivasi yang sangat kuat. 3) Kompetisi dengan diri sendiri, yaitu
dengan catatan tentang prestasi terdahulu, dapat merupakan motivasi yang
efektif.[13]
Persaingan yang sehat di antara para
siswa memberikan kesempatan kepada untuk mengukur kemampuan dirinya melalui
kemampuan orang lain, lain daripada itu, belajar dengan bersaing menimbulkan
upaya belajar yang sungguh-sungguh, disini digunakan pula prinsip keinginan
individu untuk selalu lebih baik dari orang lain. Menurut Sardiman, saingan
atau kompetisi dapat digunakan sebagai alat motivasi untuk mendorong belajar
siswa. Persaingan, baik persaingan individual ataupun kelompok dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa. Memang unsur persaingan ini banyak
dimanfaatkan dalam dunia industri atau perdagangan, tetapi juga sangat baik
digunakan untuk meningkatkan kegiatan belajar siswa.[14]
Kompetisi merupakan persaingan yang
menunjuk kepada kata sifat siap bersaing dalam kondisi nyata dari setiap hal
atau aktivitas yang dijalani. Ketika peserta didik bersikap kompetitif, maka
berarti ia memiliki sikap siap serta berani bersaing dengan orang lain. Dalam
arti yang positif dan optimis, kompetisi bisa diarahkan kepada kesiapan dan
kemampuan untuk mencapai kemajuan sebagai peserta didik. Kompetisi seperti ini
merupakan motivasi diri sekaligus factor penggali dan pengembang potensi diri
dalam menghadapi bentuk-bentuk kompetisi, sehingga kompetisi tidak semata-mata
diarahkan untuk mendapatkan kemenangan dan mengalahkan lawan. Dengan memaknai
kompetisi seperti itu, kompetitor lain sebagai partner (bukan lawan) yang
memotivasi diri untuk meraih prestasi.
C.
Suasana Belajar Individualistik
Menurut Wina
Sanjaya strategi pembelajaran individual
dilakukan oleh siswa secara mandiri. Kecepatan, kelambatan dan keberrhasilan
pembelajaran siswa sangat ditentukan oleh kemampuan individu yang bersangkutan.
Bahan pembelajaran serta bagaimana mempelajarinya didesain untuk belajar
sendiri.
Pada
pembelajaran individual ini siswa dituntut dapat belajar secara mandiri, tanpa
adanya kerjasama dengan orang lain. Sisi positif penggunaan pembelajaran ini
adalah terbangunya rasa percaya diri siswa, siswa menjadi mandiri dalam
melaksanakan pembelajaran, siswa tidak memiliki ketergantungan pada orang lain.
Namun di sisi lain terdapat kelemahan strategi pembelajaran ini, diantaranya
jika siswa menemukan kendala dalam pembelajaran, minat dan perhatian siswa
justru dikhawatirkan berkurang karena kurangnya komunikasi belajar antar siswa,
sementara enggan beratanya kepada guru, tidak membiasakan siswa bekerjasama
dalam sebuah team.[15]
Mercer dan Mercer mengemukakan bahwa “ pembelajaran
individual menunjuk pada suatu pembelajaran dimana siswa bekerja dengan
tugas-tugas yang sesuai dengan kondisi dan motivasinya”. Menurut
Sudjana, pengajaran individual merupakan suatu upaya untuk memberikan
kesempatan kepada siswa agar dapat belajar sesuai dengan kebutuhan, kemampuan,
kecepatan dan caranya sendiri.[16] Jadi, pembelajaran individual adalah pembelajaran yang menekankan
pada cara belajar siswa yang sesuai dengan kebutuhan, minat, dan kemampuannya
serta pengajaran yang diberikan kepada siswa seorang demi seorang
secara terpisah.
Dalam pembelajaran individual ini, setiap anak didik belajar
dengan kecepatan yang sesuai dengan kemampuan mereka sendiri. Sebagaiman yang
diungkapkan oleh Ralph Emerson don Henry David Thoreau “percayailah dirimu sendiri". Dalam praktik pembelajaran
individual di kelas, ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu: 1) guru harus
menyadari adanya tingkat perkembangan kognitif anak sehingga guru harus
memberikan tugas yang sesuai dengan kemampuannya, 2) orientasi perhatian guru
lebih kepada siswa secara individual daripada kelompok karena adanya perbedaan perkembangan
kognitifnya, dan 3) adanya kontrol siswa terhadap cara belajarnya sendiri. Ada
kemungkinan waktu yang diperlukan berbeda untuk setiap siswa pada tugas yang
sama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembelajaran kooperatif (cooperative
learning) merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan
bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya
terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat
heterogen.
Persaingan atau kompetisi terdapat ambisi pada peserta didik
dalam hal ini adalah ambisi untuk belajar supaya tujuan belajar dapat tercapai,
yang akan menimbulkan motivasi dari peserta didik. Pembelajaran individual
adalah pembelajaran yang menekankan pada cara belajar siswa yang sesuai dengan
kebutuhan, minat, dan kemampuannya serta
pengajaran yang diberikan kepada
siswa seorang demi seorang secara terpisah.
B. Saran
Semoga dengan
selesainya tugas makalah ini dapat bermanfaat bagi seorang calon guru untuk dapat menciptakan
suasana belajar yang menyenangkan ketika sudah menjadi guru nantinya. Bukan
suasana belajar yang monoton dan dapat membuat siswa menjadi bosan, tetapi
suasana belajar yang penuh dengan semangat siswa dalam menerima pelajaran yang
diberikan guru. Apabila suasana belajar sudah menyenangkan maka siswa pun akan
bersemangat dalam mengikuti kegiatan pembelajaran, sehingga materi yang
diberikan guru akan lebih cepat dipahami oleh siswa.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Hamalik,
Oemar, Psikologi Belajar Mengajar,
Sinar Baru Aglesindo, Bandung, 2010.
Isnoji, Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan
Kecerdasan Komunikasi Antara Peserta Didik, Pustaka Belajar, Yogyakarta,
2009.
________, Cooperative Learning Efektivitas Pembelajaran
Kelompok, Alfabeta, Bandung, 2010.
Mulyasa, E.,
Menjadi Guru Profesional, Remaja
Rosdakarya, Bandung, 2007.
Nurdyansyah
dan Eni Fariyatul Fahyuni, Inovasi Model Pembelajaran
Sesuai Kurikulum 2013, cet. 1, Nizamial Learning
Center, Sidoarjo, 2016.
Sardiman, Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012.
Sanjaya, Wina, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum
Berbasis Kompetensi, Prenada Media Group, Jakarta, 2006.
______________, Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
Kencana, Jakarta,
2008.
Saputra dan
Rudyanto, Pembelajaran
Kooperatif untuk Meningkatkan
Ketrampilan Anak TK, Depdikbud, Jakarta, 2005.
Slavin,
Robert E, Cooverative Lerning (Teori,
Riset, Praktik), Nusa Media, Bandung, 2009.
______, Cooperative Learning Teori, Riset dan
Praktik, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2010.
Sudjana, Nana, Teknologi Pengajaran, Sinar Baru, Bandung, 2009.
Trisnayadi,
Tuwuh, Bimbingan Karier Untuk Pelajar
Muslim, Erlangga, Jakarta, 2003.
Trianto, Model-model
Pembelajaran Inovaif Berorientasi Konstruktivitistik, Konsep, Landasan
Teoritis-Praktis dan Implernentasinya, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta
, 2007.
[1] Nurdyansyah dan Eni Fariyatul Fahyuni, Inovasi Model Pembelajaran Sesuai Kurikulum 2013, cet. 1, Nizamial
Learning Center, Sidoarjo, 2016, h. 53.
[2] Trianto, Model-model Pembelajaran Inovaif
Berorientasi Konstruktivitistik, Konsep, Landasan Teoritis-Praktis dan
Implernentasinya, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta , 2007, h. 10.
[3] Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi
Kurikulum Berbasis Kompetensi, Prenada Media Group, Jakarta, 2006, h. 239.
[4] Robert E. Slavin, Cooverative Lerning (Teori, Riset, Praktik),
Nusa Media, Bandung, 2009, h. 26.
[5] Saputra dan
Rudyanto, Pembelajaran
Kooperatif untuk Meningkatkan
Ketrampilan Anak TK, Depdikbud, Jakarta, 2005, h. 49.
[7] Isnoji, Pembelajaran Kooperatif
Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi Antara Peserta Didik, Pustaka Belajar,
Yogyakarta, 2009, h. 5.
[8]
Slavin, Cooperative Learning Teori, Riset dan
Praktik, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2010, h. 237.
[14] Sardiman, Interaksi & Motivasi
Belajar Mengajar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, h. 93.
[15] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar
Proses Pendidikan, Kencana, Jakarta,
2008, h. 128.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar