Senin, 28 Januari 2019

Perkembangan Qiro’at pada masa Nabi Muhammad, Sahabat dan Tabi'in


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-qur’an sebagai kitab suci umat Islam sering disebut dengan Kalam Allah. Jika al-Qur’an yang sampai kita pada saat ini sudah tidak autentik, tentu itu sangat mempengaruhi kesucian dan kesakralan al-Qur’an. Konsekuensinya, hal itu akan menjadikan al-Qur’an tidak ada bedanya dengan buku-buku lain. Para orientalis sering kali melakukan kritik terhadap keautentikan al-Qur’an. Kritik tersebut sering diarahkan pada persoalan kodifikasi al-Qur’an dan juga problem-problem Qira’at.
Pengkodifikasian al-Qur’an pada masa Khalifah Abubakar, Umar, dan Usman yang dilakukan oleh Negara, seringkali dinilai ada unsur politik praktis yang mempengaruhinya. Selain itu munculnya banyak Qira’ah pada sa’at ini juga tidak lepas dari kritikan mereka. Mengapa saat ini qira’ah berjumalah lebih dari tujuh, padahal menurut hadits jumlah qira’ah hanya tujuh (sab’ata ahrufin). Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentunya lebih awal penting mengkaji sejarah qira’at itu sendiri. Adapun sejarah yang perlu lebih dahulu diketahui adalah masa awal qira’at muncul. Cerita yang paling awal dari sejarah tersebut adalah pada masa nabi, sahabat dan tabiin. Dari itu kami mencoba memahami selanjutnya memaparkan sejarah awal qiraah tersebut pada makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:
1.      Bagaimana Perkembangan Qiro’at pada masa Nabi Muhammad?
2.      Bagaimana perkembangan Qiro’at pada masa Sahabat?
3.      Bagaiman perkembangan Qiro’at pada masa setelah sahabat?

C.    Tujuan
Adapun tujuan materi dalam makalah ini sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui bagaimana perkembangan Qiro’at pada masa Nabi Muhammad
2.      Untuk mengetahui Bagaimana perkembangan Qiro’at pada masa Sahabat
3.      Untuk mengetahui Bagaiman perkembangan Qiro’at setelah sahabat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.   Perkembangan Qiro’at Pada Masa Nabi Muhammad
Qira’at ini sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Beliaulah orang pertama kali membacanya, kemudian diikuti dan diajarkan kepada sahabat. Umat Nabi Muhammad terdiri dari berbagai macam kalangan dan status sosial yang beragam. Oleh karena itu, dakam mengajarkan al-qur’an, rasulullah tidak memaksakan kehendaknya, tetapi boleh dibaca beragam asal tidak mengubah arti yang sesungguhnya.[1]
Waktu mulai di turunkannya Qira’at yakni mulai di turunkan di Mekah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an, akan tetapi ketika di Mekah qira’at belum begitu di butuhkan karena belum adanya perbedaan dialek, hanya memakai satu lahjah(huruf) yaitu Quraisy. Qira’at mulai di pakai setelah Nabi Muhammad di Madinah, dimana mulai banyak orang yang masuk Islam dari berbagai qabilah yang bermacam-macam dan dialek yang berbeda.
Pada saat malaikat Jibril memerintahkan kepada nabi untuk membacakan Al-Qur’an dengan satu huruf atau satu macam bacaan, nabi langsung naik banding kepada malaikat Jibril agar keharusan itu diperingan lagi. Ternyata Allah melalui malaikat Jibril memberikan keringanan (rukhshah) kepada nabi sampai tujuh huruf atau macam bacaan. Hadis berikut ini menjelaskan hal tersebut:
عَنْ أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ عِنْدَ أَضَاةِ بَنِى غِفَارٍ - قَالَ - فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفٍ. فَقَالَ « أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِى لاَ تُطِيقُ ذَلِكَ ». ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفَيْنِ فَقَالَ « أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِى لاَ تُطِيقُ ذَلِكَ ». ثُمَّ جَاءَهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى ثَلاَثَةِ أَحْرُفٍ. فَقَالَ « أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِى لاَ تُطِيقُ ذَلِكَ ». ثُمَّ جَاءَهُ الرَّابِعَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَأَيُّمَا حَرْفٍ قَرَءُوا عَلَيْهِ فَقَدْ أَصَابُوا. (رواه مسلم)
Artinya: “Nabi Muhammad berada di genangan air milik Bani Ghifar. Datanglah malaikat Jibril dan berkata: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkanmu agar umatmu membaca Al-Qur’an dengan satu huruf.” Nabi berkata : “aku meminta ampun dan pertolongan kepadaNya, umatku tidak mampu untuk itu”. Kemudian malaikat Jibril datang kedua kali dan mengatakan bahwa Allah memerintahkan seperti diatas dengan dua huruf. Lalu nabi menjawab seperti diatas pula, bahwa umatnya tidak mampu untuk itu. Lalu malaikat Jibril datang ketiga kali, lalu keempat kali, lalu pada akhirnya malaikat Jibril mengatakan bahwa Allah memberikan keringanan sampai tujuh huruf.  Huruf manapun yang mereka baca, mereka sudah benar.”
Hadis tersebut sangat masyhur di kalangan ahli hadis karena diriwayatkan oleh lebih dari 20 sahabat. ‘Abd al-SHabûr Syahin dalam kitabnya “Tarikh Al-Qur’an” menyebutkan bahwa ada 25 sahabat yang meriwayatkan. Sedangkan jumlah sanad dari 25 sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut ada 46 sanad. Dari jumlah tersebut yang mempunyai kualitas dha’îf” berjumlah 8 sanad, selainnya yang berjumlah 38 sanad berkualitas shahîh. Syahin menggolongkan hadis ini ke dalam hadis yang mutawâtir. [2]
Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan tentang tujuh huruf. Berikut ini pendapat para ulama tentang makna tujuh huruf :
a.       Yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa Arab yang memiliki satu makna
b.      Sebagian ulama mengatakan yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh aspek kewahyuan seperti: amr (perintah), nahyu (larangan), wa’d (ancaman), wa’îd (janji), jadal (perdebatan), halal, haram, qashash (cerita), dan matsal (perumpamaan).
c.       Tujuh huruf diartikan bilangan yang sempurna. Jadi kata tujuh diartikan banyak dan sempurna
d.      Tujuh huruf adalah tujuh dialek bahasa kabilah arab seperti Quraisy, Hudzail, Tamim, Tasqif, Hawazin, Kinanah dan Yaman
e.       Yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah Qira’at Sab’ah.[3]
B.   Perkembangan Qiroat Pada Masa Sahabat
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa pada zaman Rasul banyak para sahabat yang ahli dalam ilmu al-Qur’an. Setelah rasul wafat, para sahabat tersebutlah yang mewarisi ilmu al-Qur’an dan mengajarkannya kepada para penerusnya.
Ketika wilayah kekuasaan umat Islam semakin meluas, banyak para sahabat berpindah ke wilayah yang baru dan menetap di sana. Para Khulafa’ Rasydin memerintahkan para sahabat ahli Qura’ untuk mengajarkan qira’at pada wilayah yang baru tersebut. Pada masa Umar bin Khattab, Yazid bin Abi Sofyan mengirim surat kepada khalifah untuk mengirim shahabat ahli qura’ ke Syam karena penduduknya sangat banyak dan mereka membutuhkan pengajar al-Qur’an. Setelah menerima surat tersebut, Khalifah Umar menyuruh tiga diantara lima sahabat tersebut untuk pergi ke Syam. Akan tetapi, Abu Ayub sudah sangat tua dan Ubai bin Ka’ab sedang sakit, sehingga yang berangkat adalah tiga sahabat yang lain yaitu, Muadz bin Jabal, Ubadah bin Shamit, dan Abu Darda’. Mereka bertiga memulai dari kota Hamsh, sesudah penduduk Hamsh bisa membaca al-Qur’an, akhirnya Ubadah bin al-Shamid meneruskan perjalanan ke Palestina dan meninggal di sana. Sedangkan Abu Darda’ menetap di Damaskus sampai wafat di sana.
Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, wilayah kekuasaan Islam semakin meluas sampai Armenia dan Azerbaijan. Di sana Hudzaifah bin Yaman melihat perbedaan qira’at umat Islam. Karena takut terjadi perpecahan di kalangan umat Islam seperti yang terjadi pada umat Yahudi, beliau mengusulkan kepada khalifah untuk menyeragamkan al-Qur’an menjadi satu huruf. Akhirnya khalifah Utsman menerima usulan tersebut, dengan membentuk panitia yang diketuai Zaid bin Tsabit dan dibantu tiga orang Quraiys untuk membukukan al-Qur’an .
Setelah pembukuan al-Qur’an dan penggandaannya selesai, Utsman mengirimkan mushaf tersebut ke daerah-daerah disertai dengan seseorang yang sebagian besar bacaannya sesuai dengan bacaan yang berkembang di daerah tersebut. Para khufadz yang dikirim itu adalah: Zaid bin Tsabit diperintahkan mengajarkan qira’at di Madinah, Abdullah bin al-Saib dikirim ke Makkah, Al-Mughirah bin Syihab dikirim ke Syam, Abu Abd al-Rahman al-Salmy dikirim ke Kufah, Amir bin Abd al-Qais dikirim ke Bashrah.
Setelah penyebaran mushaf tersebut, maka berkembanglah penulisan dan penyampaian riwayat, berkembang pula madrasah-madrasah yang mengajarkan tentang qira’at yang bersandar kepada bacaan shahabat yang dikirim bersama dengan mushaf tersebut. Perlu disinggung disini bahwa pengajaran qira’at oleh para sahabat kepada murid-murid mereka adalah berdasarkan cara bacaan yang mereka dapatkan dari nabi. Bacaan mereka berbeda antara satu dengan lainnya sesuai dengan ketentuan dalam pengajaran yang diberikan Rasulullah kepada mereka.
Sepeninggal mereka muncul generasi ketiga di kalangan Tabi’in yang juga berperan dalam penyebaran Ilmu Qira’at di negeri-negeri tersebut. Hasilnya adalah munculnya generasi baru dalam bidang Qira’at.

C.   Perkembangan Qiro’at Setelah Sahabat
Setelah masa sahabat berlalu para ahli qira’at dari kalangan tabi’in juga mengajarkan al-Qur’an-sesuai versi qira’ah yang mereka kuasai dari para sahabat kepada para tabi’in tabi’in. Begitulah seterusnya bacaan al-Quran disampaikan dan diajarkan kepada kaum muslimin dari generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian penyampaian dan periwayatan al-Qur’an itu dilakukan sebagaimana penyampaian dan periwayatan hadits. Dengan adanya madrasah-madrasah qira’at yang sudah mulai muncul pada masa sahabat, akhirnya qira’at semakin berkembang pada masa tabi’in. Mereka adalah generasi penerus dalam penyampaian qira’at, sehingga sanad qira’at bisa terus bersambung. Dari tangan mereka muncullah imam-imam qira’at yang menjadi panutan generasi-generasi sesudahnya.
Sepeninggal mereka muncul generasi ketiga di kalangan Tabi’in yang juga berperan dalam penyebaran Ilmu Qira’at di negeri-negeri tersebut. Hasilnya adalah munculnya komunitas ahli Qira’at pada setiap negeri Islam, munculnya masa pembukuan qira’at. Orang yang pertama kali menulis masalah qira’at dalam bentuk prosa adalah al-Qasim bin Salam, orang yang pertama kali menulis tentang qira’at sab’ah dalam bentuk puisi adalah Husain bin Usman al-Baghdadi, yang pertama kali menuliskan buku tentang  ilmu qira’at adalah Yahyâ bin Ya’mar, ahli qira’at dari Bashrah. Setelah itu qiroa’at terus berkembang, pada masa sekarang yang banyak beredar luas di masyarakat adalah qira’ah Hafs dari ‘Asim. [4]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Perbedaan-perbedaan bacaan umat muslim sesuai mazhab qiraah yang diikutinya, ini menunjukkan betapa islam sangat menghargai perbedaan. Perbedaan bukanlah suatu hal yang dapat menimbulkan perpecahan, bahkan merupakan sebuah rahmat. Sebagaimana sabda Rasullah dalam sebuah hadist “ perbedaan yang terjadi dalam umat-ku adalah rahmat”. Dengan perbedaan dalam pembacaan qiraah menimbulkan perbedaan dalam mengistimbatkan hukum (dimana satu hukum dengan hukum lainnya saling menguatkan). Ketika seorang mufassir menafsirkan al-qur’an menurut mazhab yang diikutinya, maka ia melahirkan hukum yang berbeda dengan mufassir lain yang mengambil ( Mengikuti) mazhab lain.
Inilah diantara mukjizat-mukjizat yang ada dalam al-qur’an yang berbeda dengan kitab-kitab lainnya. Al-qur’an diturunkan bukan untuk memberatkan umat akan tetapi memberikan kemudahan bagi umat manusia.

B.     Saran
Demikianlah isi dari makalah kami, yang telah kami susun  agar pembaca mudah untuk memahaminya. Semoga makalah ini memberi motivasi agar manusia khususnya muslim selalu mencari ilmu hingga akhir hayat amiin.










DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Khon, 2011. Pratikum Qiroa’at, Jakarta: Amzah.
Sejarah Al-Qur’an 1, 2008, PT. Rehal Publika.
http://blognyaimut.blogspot.co.id/2010/05/perkembangan-ilmu-qiraat-masa





[1] Abdul Majid Khon, 2011. Pratikum Qiroa’at, Jakarta: Amzah. Hlm. 29
[2] Op.cit. Hlm.56
[3] Ibid Hlm. 30
[4] Sejarah Al-Qur’an 1, 2008, PT. Rehal Publika. Hlm. 31

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WIRAUSAHA : PELUANG USAHA

BAB I PENDAHULUAN A.            Latar Belakang Seseorang yang berkemauan keras dalam melakukan suatu tindakan demi memperoleh suat...