BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-qur’an sebagai kitab suci umat Islam sering disebut dengan Kalam Allah.
Jika al-Qur’an yang sampai kita pada saat ini sudah tidak autentik, tentu itu sangat
mempengaruhi kesucian dan kesakralan al-Qur’an. Konsekuensinya, hal itu akan
menjadikan al-Qur’an tidak ada bedanya dengan buku-buku lain. Para orientalis
sering kali melakukan kritik terhadap keautentikan al-Qur’an. Kritik tersebut
sering diarahkan pada persoalan kodifikasi al-Qur’an dan juga problem-problem
Qira’at.
Pengkodifikasian al-Qur’an pada masa Khalifah Abubakar, Umar, dan Usman
yang dilakukan oleh Negara, seringkali dinilai ada unsur politik praktis yang
mempengaruhinya. Selain itu munculnya banyak Qira’ah pada sa’at ini juga tidak
lepas dari kritikan mereka. Mengapa saat ini qira’ah berjumalah lebih dari
tujuh, padahal menurut hadits jumlah qira’ah hanya tujuh (sab’ata ahrufin).
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentunya lebih awal penting mengkaji
sejarah qira’at itu sendiri. Adapun sejarah yang perlu lebih dahulu diketahui
adalah masa awal qira’at muncul. Cerita yang paling awal dari sejarah tersebut
adalah pada masa nabi, sahabat dan tabiin. Dari itu kami mencoba memahami
selanjutnya memaparkan sejarah awal qiraah tersebut pada makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana Perkembangan Qiro’at pada
masa Nabi Muhammad?
2. Bagaimana perkembangan Qiro’at pada
masa Sahabat?
3. Bagaiman perkembangan Qiro’at pada
masa setelah sahabat?
C.
Tujuan
Adapun
tujuan materi dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana
perkembangan Qiro’at pada masa Nabi Muhammad
2. Untuk mengetahui Bagaimana
perkembangan Qiro’at pada masa Sahabat
3. Untuk mengetahui Bagaiman
perkembangan Qiro’at setelah sahabat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan
Qiro’at Pada Masa Nabi Muhammad
Qira’at ini
sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Beliaulah orang pertama kali
membacanya, kemudian diikuti dan diajarkan kepada sahabat. Umat Nabi Muhammad terdiri dari berbagai macam kalangan dan status sosial
yang beragam. Oleh karena itu, dakam mengajarkan al-qur’an, rasulullah tidak
memaksakan kehendaknya, tetapi boleh dibaca beragam asal tidak mengubah arti
yang sesungguhnya.[1]
Waktu mulai di turunkannya Qira’at yakni mulai di turunkan di
Mekah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an, akan tetapi ketika di Mekah qira’at
belum begitu di butuhkan karena belum adanya perbedaan dialek, hanya memakai
satu lahjah(huruf) yaitu Quraisy. Qira’at mulai di pakai setelah Nabi Muhammad
di Madinah, dimana mulai banyak orang yang masuk Islam dari berbagai qabilah
yang bermacam-macam dan dialek yang berbeda.
Pada saat malaikat Jibril memerintahkan kepada nabi untuk membacakan
Al-Qur’an dengan satu huruf atau satu macam bacaan, nabi langsung naik banding
kepada malaikat Jibril agar keharusan itu diperingan lagi. Ternyata Allah
melalui malaikat Jibril memberikan keringanan (rukhshah) kepada nabi
sampai tujuh huruf atau macam bacaan. Hadis berikut ini menjelaskan hal
tersebut:
عَنْ أُبَىِّ بْنِ
كَعْبٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ عِنْدَ أَضَاةِ بَنِى غِفَارٍ
- قَالَ - فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ
يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفٍ. فَقَالَ « أَسْأَلُ
اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِى لاَ تُطِيقُ ذَلِكَ ».
ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ
أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفَيْنِ فَقَالَ « أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ
وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِى لاَ تُطِيقُ ذَلِكَ ». ثُمَّ جَاءَهُ
الثَّالِثَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ
الْقُرْآنَ عَلَى ثَلاَثَةِ أَحْرُفٍ. فَقَالَ « أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ
وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِى لاَ تُطِيقُ ذَلِكَ ». ثُمَّ جَاءَهُ الرَّابِعَةَ
فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى
سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَأَيُّمَا حَرْفٍ قَرَءُوا عَلَيْهِ
فَقَدْ أَصَابُوا. (رواه مسلم)
Artinya: “Nabi Muhammad berada di genangan air
milik Bani Ghifar. Datanglah malaikat Jibril dan berkata: “Sesungguhnya Allah
telah memerintahkanmu agar umatmu membaca Al-Qur’an dengan satu huruf.” Nabi
berkata : “aku meminta ampun dan pertolongan kepadaNya, umatku tidak mampu
untuk itu”. Kemudian malaikat Jibril datang kedua kali dan mengatakan bahwa
Allah memerintahkan seperti diatas dengan dua huruf. Lalu nabi menjawab seperti
diatas pula, bahwa umatnya tidak mampu untuk itu. Lalu malaikat Jibril datang
ketiga kali, lalu keempat kali, lalu pada akhirnya malaikat Jibril mengatakan
bahwa Allah memberikan keringanan sampai tujuh huruf. Huruf manapun yang mereka baca, mereka sudah
benar.”
Hadis tersebut sangat
masyhur di kalangan ahli hadis karena diriwayatkan oleh lebih dari 20 sahabat.
‘Abd al-SHabûr Syahin dalam kitabnya “Tarikh Al-Qur’an” menyebutkan
bahwa ada 25 sahabat yang meriwayatkan. Sedangkan jumlah sanad dari 25 sahabat
yang meriwayatkan hadis tersebut ada 46 sanad. Dari jumlah tersebut yang
mempunyai kualitas dha’îf” berjumlah 8 sanad, selainnya yang berjumlah
38 sanad berkualitas shahîh. Syahin menggolongkan hadis
ini ke dalam hadis yang mutawâtir. [2]
Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan tentang tujuh
huruf. Berikut ini pendapat para ulama tentang makna tujuh huruf :
a.
Yang dimaksud dengan
tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa Arab yang memiliki satu makna
b.
Sebagian ulama
mengatakan yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh aspek kewahyuan seperti:
amr (perintah), nahyu (larangan), wa’d (ancaman), wa’îd
(janji), jadal (perdebatan), halal, haram, qashash (cerita), dan matsal
(perumpamaan).
c.
Tujuh huruf diartikan
bilangan yang sempurna. Jadi kata tujuh diartikan banyak dan sempurna
d.
Tujuh huruf adalah
tujuh dialek bahasa kabilah arab seperti Quraisy, Hudzail, Tamim, Tasqif,
Hawazin, Kinanah dan Yaman
B.
Perkembangan
Qiroat Pada Masa Sahabat
Sebagaimana
dijelaskan di atas bahwa pada zaman Rasul banyak para sahabat yang ahli dalam
ilmu al-Qur’an. Setelah rasul wafat, para sahabat tersebutlah yang mewarisi
ilmu al-Qur’an dan mengajarkannya kepada para penerusnya.
Ketika
wilayah kekuasaan umat Islam semakin meluas, banyak para sahabat berpindah ke
wilayah yang baru dan menetap di sana. Para Khulafa’ Rasydin memerintahkan para
sahabat ahli Qura’ untuk mengajarkan qira’at pada wilayah yang baru tersebut.
Pada masa Umar bin Khattab, Yazid bin Abi Sofyan mengirim surat kepada khalifah
untuk mengirim shahabat ahli qura’ ke Syam karena penduduknya sangat banyak dan
mereka membutuhkan pengajar al-Qur’an. Setelah menerima surat tersebut,
Khalifah Umar menyuruh tiga diantara lima sahabat tersebut untuk pergi ke Syam.
Akan tetapi, Abu Ayub sudah sangat tua dan Ubai bin Ka’ab sedang sakit,
sehingga yang berangkat adalah tiga sahabat yang lain yaitu, Muadz bin Jabal,
Ubadah bin Shamit, dan Abu Darda’. Mereka bertiga memulai dari kota Hamsh,
sesudah penduduk Hamsh bisa membaca al-Qur’an, akhirnya Ubadah bin al-Shamid
meneruskan perjalanan ke Palestina dan meninggal di sana. Sedangkan Abu Darda’
menetap di Damaskus sampai wafat di sana.
Pada masa
pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, wilayah kekuasaan Islam semakin meluas
sampai Armenia dan Azerbaijan. Di sana Hudzaifah bin Yaman melihat perbedaan
qira’at umat Islam. Karena takut terjadi perpecahan di kalangan umat Islam
seperti yang terjadi pada umat Yahudi, beliau mengusulkan kepada khalifah untuk
menyeragamkan al-Qur’an menjadi satu huruf. Akhirnya khalifah Utsman menerima
usulan tersebut, dengan membentuk panitia yang diketuai Zaid bin Tsabit dan
dibantu tiga orang Quraiys untuk membukukan al-Qur’an .
Setelah
pembukuan al-Qur’an dan penggandaannya selesai, Utsman mengirimkan mushaf
tersebut ke daerah-daerah disertai dengan seseorang yang sebagian besar
bacaannya sesuai dengan bacaan yang berkembang di daerah tersebut. Para khufadz
yang dikirim itu adalah: Zaid bin Tsabit diperintahkan mengajarkan qira’at di
Madinah, Abdullah bin al-Saib dikirim ke Makkah, Al-Mughirah bin Syihab dikirim
ke Syam, Abu Abd al-Rahman al-Salmy dikirim ke Kufah, Amir bin Abd al-Qais
dikirim ke Bashrah.
Setelah
penyebaran mushaf tersebut, maka berkembanglah penulisan dan penyampaian
riwayat, berkembang pula madrasah-madrasah yang mengajarkan tentang qira’at
yang bersandar kepada bacaan shahabat yang dikirim bersama dengan mushaf
tersebut. Perlu disinggung disini bahwa pengajaran qira’at oleh
para sahabat kepada murid-murid mereka adalah berdasarkan cara bacaan yang
mereka dapatkan dari nabi. Bacaan mereka berbeda antara satu dengan lainnya
sesuai dengan ketentuan dalam pengajaran yang diberikan Rasulullah kepada
mereka.
Sepeninggal mereka muncul generasi ketiga di kalangan Tabi’in yang juga
berperan dalam penyebaran Ilmu Qira’at di negeri-negeri tersebut. Hasilnya
adalah munculnya generasi baru dalam bidang Qira’at.
C.
Perkembangan Qiro’at Setelah Sahabat
Setelah masa sahabat berlalu para
ahli qira’at dari kalangan tabi’in juga mengajarkan al-Qur’an-sesuai versi
qira’ah yang mereka kuasai dari para sahabat kepada para tabi’in tabi’in.
Begitulah seterusnya bacaan al-Quran disampaikan dan diajarkan kepada kaum
muslimin dari generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian penyampaian dan
periwayatan al-Qur’an itu dilakukan sebagaimana penyampaian dan periwayatan
hadits. Dengan adanya madrasah-madrasah qira’at yang sudah mulai muncul pada
masa sahabat, akhirnya qira’at semakin berkembang pada masa tabi’in. Mereka
adalah generasi penerus dalam penyampaian qira’at, sehingga sanad qira’at bisa
terus bersambung. Dari tangan mereka muncullah imam-imam qira’at yang menjadi
panutan generasi-generasi sesudahnya.
Sepeninggal mereka muncul generasi ketiga di kalangan
Tabi’in yang juga berperan dalam penyebaran Ilmu Qira’at di negeri-negeri
tersebut. Hasilnya adalah munculnya komunitas ahli Qira’at pada setiap negeri
Islam, munculnya
masa pembukuan qira’at. Orang yang pertama kali menulis masalah qira’at dalam
bentuk prosa adalah al-Qasim bin Salam, orang yang pertama kali menulis tentang
qira’at sab’ah dalam bentuk puisi adalah Husain bin Usman al-Baghdadi, yang pertama kali menuliskan buku tentang
ilmu qira’at adalah Yahyâ bin Ya’mar, ahli qira’at dari Bashrah.
Setelah itu qiroa’at terus berkembang, pada masa sekarang yang banyak beredar
luas di masyarakat adalah qira’ah Hafs dari ‘Asim. [4]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perbedaan-perbedaan
bacaan umat muslim sesuai mazhab qiraah yang diikutinya, ini menunjukkan betapa
islam sangat menghargai perbedaan. Perbedaan bukanlah suatu hal yang dapat
menimbulkan perpecahan, bahkan merupakan sebuah rahmat. Sebagaimana sabda
Rasullah dalam sebuah hadist “ perbedaan yang terjadi dalam umat-ku adalah
rahmat”. Dengan perbedaan dalam pembacaan qiraah menimbulkan perbedaan dalam
mengistimbatkan hukum (dimana satu hukum dengan hukum lainnya saling
menguatkan). Ketika seorang mufassir menafsirkan al-qur’an menurut mazhab yang
diikutinya, maka ia melahirkan hukum yang berbeda dengan mufassir lain yang
mengambil ( Mengikuti) mazhab lain.
Inilah
diantara mukjizat-mukjizat yang ada dalam al-qur’an yang berbeda dengan
kitab-kitab lainnya. Al-qur’an diturunkan bukan untuk memberatkan umat akan
tetapi memberikan kemudahan bagi umat manusia.
B.
Saran
Demikianlah
isi dari makalah kami, yang telah kami susun agar pembaca mudah untuk memahaminya. Semoga
makalah ini memberi motivasi agar manusia khususnya muslim
selalu mencari ilmu hingga akhir hayat amiin.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Majid Khon, 2011.
Pratikum Qiroa’at, Jakarta: Amzah.
Sejarah Al-Qur’an 1, 2008, PT. Rehal Publika.
http://blognyaimut.blogspot.co.id/2010/05/perkembangan-ilmu-qiraat-masa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar