BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali
bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang berpola dinasti atau
kerajaan. Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung
bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, menimbulkan hilangnya keteladanan
Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin. Dinasti Umayyah merupakan
kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan. Jatuhnya
Ali dan naiknya Mu’awiyah juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij (kelompok
yang menentang dari Ali) membunuh khalifah Ali, kemudian kekuasaan dipegang
oleh putranya Hasan, pada akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada
Mu’awiyah, dengan perjanjian bahwa pemilihan kepemimpinan sesudahnya adalah
diserahkan kepada ummat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41
H dan dikenal dengan nama jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan ummat
Islam menjadi satu kepemimpinan, namun secara tidak langsung mengubah pola
pemerintahan menjadi kerajaan. Meskipun begitu, munculnya Dinasti Umayyah
memberikan babak baru dalam kemajuan peradaban Islam, hal itu dibuktikan dengan
sumbangan-sumbangannya dalam perluasan wilayah, kemajuan pendidikan, kebudayaan
dan lain sebagainya.
B.
Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana pendirian Dinasti Umayyah?
2. Bagaimana pola pemerintahan Dinasti
Umayyah?
3. Bagaimana kebudayaan/peradaban islam
masa Dinasti Umayyah?
C.
Tujuan
Adapun
tujuan materi dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana pendirian
Dinasti Umayyah
2. Untuk mengetahui bagaimana pola
pemerintahan Dinasti Umayyah
3. Untuk mengetahui bagaimana
kebudayaan/peradaban islam masa Dinasti Umayyah
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pendirian
Dinasti Umayyah
Sejarah berdirinya Daulah Umayyah berasal dari nama Umayyah
Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin kabilah
Quraisy pada zaman jahiliyah. Bani Umayyah baru masuk agama Islam setelah
mereka tidak menemukan jalan lain selain memasukinya, yaitu ketika Nabi
Muhammad berserta beribu-ribu pengikutnya yang benar-benar percaya terhadap
kerasulan dan kepemimpinan yang menyerbu masuk ke dalam kota Makkah. Memasuki
tahun ke 40 H/660 M, banyak sekali pertikaian politik dikalangan ummat Islam,
puncaknya adalah ketika terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib oleh Ibnu
Muljam. Setelah khalifah terbunuh, kaum muslimin diwilayah Iraq mengangkat
al-Hasan putra tertua Ali sebagai khalifah yang sah.
Pada saat kepemimpinan Hasan karna dukungan yang lemah dan
kondisi politik yang kacau akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai
beberapa bulan. Pada akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Mu’awiyah,
namun dengan perjanjian bahwa pemilihan kepemimpinan sesudahnya adalah
diserahkan kepada umat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41
H dan dikenal dengan nama amul-jama’ah
karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam menjadi satu.[1]
Mu'awiyah sebagai pendiri dinasti Umayyah adalah putra Abu
Sufyan, seorang pemuka Quraisy yang menjadi musuh Nabi Muhammad saw. Mu'awiyah
dan keluarga keturunan Bani Umayyah memeluk Islam pada saat terjadi penaklukan
kota Makkah. Nabi pernah mengangkatnya sebagai sekretaris pribadi dan Nabi
berkenan menikahi saudara perempuan yang bernama Umi Habibah. Karier politik
Mu'awiyah mulai meningkat pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Setelah
kematian Yazid Ibn Abu Sufyan pada peperangan Yarmuk, Mu'awiyah diangkat
menjadi kepala di sebuah kota di Syria. Karena keberhasilan kepemimpinannya,
tidak lama kemudian dia diangkat menjadi gubernur Syria oleh khalifah Usman. Pada
masa pemerintahan khalifah Ali bin Abu Thalib, Mu'awiyah terlibat konflik
dengan khalifah Ali untuk mempertahankan kedudukannya sebagai gubernur Syria.
Sejak saat itu Mu'awiyah mulai berambisi untuk menjadi khalifah dengan
mendirikan dinasti Umayyah. Setelah menurunkan Hasan bin Ali, Mu'awiyah menjadi
penguasa seluruh imperium Islam dan menaklukan Afrika Utara merupakan peristiwa
penting dan bersejarah selama masa kekuasaannya.
B.
Pola
Pemerintahan Dinasti Umayyah
Untuk mengamankan tahtanya dan
memperluas batas wilayah Islam, Mu’awiyah sangat mengandalkan orang-orang
Suriah. Para sejarawan mengatakan bahwa orang-orang Suriah itu sangat
menjunjung tinggi kesetian terhadap khalifah tersebut.
Pada 679 M, Mu’awiyah menunjuk
puteranya Yazid untuk menjadi penerusnya. Ketika itulah ia memperkenalkan
sistem pemerintahan turun temurun yang setelah itu diikuti oleh dinasti-dinasti
besar Islam, termasuk Dinasti Abbasiyah.
Pada perkembangan berikutnya setiap
khalifah mengikuti caranya, yaitu menobatkan salah seorang anak atau kerabat
sukunya yang dipandang sesuai untuk menjadi penerusnya. Pemindahan kekuasaan
Mu’awiyah mengakhiri bentuk demokrasi, kekhalifahan menjadi monarchi
heridetis (kerajaan turun temurun), yang di peroleh tidak dengan pemilihan
atau suara terbanyak. Sikap Mu’awiyah seperti ini di pengaruhi oleh keadaan
Syiria selama dia menjadi gubernur disana.[2]
C.
Kebudayaan/ Peradaban Islam Masa
Dinasti Umayyah
Kemajuan utama yang terwujud pada masa Dinasti Bani Umayyah
adalah terciptanya suasana yang kondusif dalam negara dan bersatunya kembali umat
Islam. Hal tersebut tercapai dikarenakan Muawiyah (pada awal kepemimpinannya)
mampu menjalankan roda pemerintahan dengan baik.
Dinasti Bani Umayyah berkuasa hampir satu abad yakni 90
tahun, dengan 14 orang khalifah. Dimulai dari Muawiyah bin Abu Sofyan dan
ditutup oleh Marwan bin Muhammad. Dalam pemerintahannya, Bani Umayyah membawa
dampak dalam perkembangannya selain ekspansi yang sangat luas juga diikuti oleh
kemajuan-kemajuan di berbagai bidang, di antaranya :
1. Bidang Ilmu Pengetahuan
Pusat kegiatan ilmiah pada masa Dinasti Umayyah adalah Kota
Basrah dan Kufah di Irak. Perkembangan ilmu pegetahuan itu ditandai dengan
munculnya ilmuan muslim dalam berbagai bidang. Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah
adalah orang pertama yang menterjemahkan buku tentang astronomi, kedokteran dan
kimia.
Di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, para da’i Islam
dikirim ke berbagai negara seperti India, Turki, Asia Tengah, Afrika, Andalusia
dan sebagainya dengan misi utama agar mereka masuk Islam. Waktu itu, beliau
memerintahkan semua warganya untuk berbondong-bondong mempelajari hukum Islam
di setiap bangunan terutama masjid dalam rangka menyebarkan ilmu pengetahuan. Kemudian
ia menyuruh golongan cendikiawan muslim agar menerjemahkan berbagai cabang ilmu
pengetahuan yang termaktub dalam kitab-kitab berbahasa Yunani dan Latin ke
bahasa Arab , agar ilmu-ilmu tersebut dapat dicerna oleh ummat Islam. Dan di
masa Umar bin Abdul Aziz inilah beliau menginstruksikan untuk mentadwinkan
kitab-kitab hadits.
Adapun tokoh-tokoh ilmu pengetahuan diantaranya Abu al-Aswad
al-Du’ali (perintis tata bahasa), al-Khalil bin Ahmad (penyusun Kitab al-Ayn),
Hasan al-Bashri, Qays bin Mulawwah, termasyhur dengan sebutan Laila Majnun, Sibawaih seorang bahasawan
yang telah mengarang buku berisi pokok-pokok kaidah bahasa arab yang berjudul Al-Kitab, Ibnu Syihab az-Zuhri, Abu
Hanifah dan masih banyak lagi.
2. Bidang Ekonomi
Dalam upaya membiayai roda pemerintahan, maka dibentuklah
Baitul Mal sebagai kas perbendaharaan Negara. Semua hasil bumi dan pajak
lainnya dimasukkan ke Baitul Mal
yang dikordinir oleh Diwan al-Kharaj (Dewan Sekretaris Keuangan).
Kemudian kebijakan
yang strategis pada masa dinasti Bani Umayyah adalah adanya sistem penyamaan
keuangan. Hal ini terjadi pada masa Khalifah Abdul Malik. Dia mengubah mata
uang asing Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai
Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai
kata-kata dan tulisan Arab. Mata uang tersebut terbuat dari emas dan perak
sebagai lambang kesamaan kerajaan ini dengan imperium yang ada
sebelumnya.
3. Bidang Administrasi
Administrasi pemerintahan Bani Umayyah telah nampak pada
masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan yang berpusat di Damaskus. Muawiyah
dikenal dalam kepemimpinannya karena dalam dirinya terkumpul sifat seorang
politikus dan administrator. Di zaman ini pertama dikenalkan materai resmi
untuk mengirimkan memorandum yang berasal dari Khalifah serta pertama kali
menggunakan pos untuk mengumumkan kejadian-kejadian penting dengan cepat.
Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan, dia melakukan
pembenahan administrasi negara dengan memerintahkan para pejabat negara
menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi dalam pemerintahan.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Khalifah Bani Umayyah
dibantu oleh beberapa al-Kuttab yang meliputi:
-
Katib Ar-Rasail yaitu sekretaris yang bertugas
menyelenggarakan administrasi dan surat menyurat.
-
Katib al-Khawarraj yaitu sekretaris yang bertugas
dalam keuangan Negara.
-
Katib al-Jund yaitu sekretaris yang bertugas
menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan tentara.
-
Katib al- Syurthahk yaitu sekretaris yang bertugas
menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.
4. Bidang Keamanan
Untuk mengurusi keselamatan khalifah, dibentuklah al-Hijabah
atau ajudan. Semua orang yang akan menghadap khalifah harus meminta izin kepada
al-Hijabah. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari pembunuhan terhadap khalifah.[4]
Pada masa dinasti Umayyah, pembangunan fisik juga dilakukan
yakni dengan dibangun bangunan bersejarah seerti mengubah Katedral St. John di
damaskus dan Katedral Hims menjadi masjid, merenovasi masjid nabawi. Bukti
tersebut menunjukkan bahwa umat islam sudah mencapi tingkat peradaban yang
tinggi.
5.
Bidang Militer
Dalam bidang
militer lebih banyak untuk keperluan perluasan wilayah dan mempertahankan
kekuasaan Dinasti Umayyah. Di zaman Muawiyah, Tanisia dapat ditaklukkan.
Disebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke Sungai Oxus
dan Afganistan sampai ke Kabul. Ekspansi wilayah ke timur dilanjutkan oleh
khalifah Abd Al-Malik, dia mengirimkan tentara dan dapat menguasai Balkh,
Bukhara, Khawariz, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India
dan dapat menguasai Balukhistan, Sid dan daerah Punjab sampai ke Maltan.[5]
Ekspansi ke
barat dilanjutkan di zaman Al- Walid ibn Abdul Malik. Pada masa pemerintahannya
yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer
dari Afrika Utara menuju wilayah Barat Daya, Benua Eropa tahun 711 M. Pada saat
itu Spayol juga dapat dikuasai.
Dizaman Umar
bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke prancis yang dipimpin oleh Abd
Al-Ghafiqi, ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers juga Kota Tours. Namun,
Al-Ghafiqi terbunuh saat menyerang kota Tours dan tentaranya kembali ke
Spanyol. [6]
Dengan
keberhasilan menguasai beberapa wilayah, kekuasaan islam ini betul-betul sangat
luas. Meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak,
Sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis
di Asia Tengah.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kemajuan-kemajuan yang dicapai dinasti Bani Umayyah yang
tentunya membawa sebuah perubahan besar dalam perkembangan sejarah peradaban
Islam. Hal ini setidaknya tercermin pada masa Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-680
M), Abd al-Malik ibn Marwan (685-705 M), al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M),
Umar ibn Abd al-Aziz(717-720 M) dan Hasyim ibn Abd al-Malik (724-743 M).
Pada masa Dinasti Umayyah menunjukkan pentingnya stabilitas
politik Negara sebagai model untuk mengembangkan kekuasaannya. Setelah
stabilitas politik tercapai, pembangunan di berbagai bidang digelakkan.
Bukti-bukti peninggalan bersejarah dari Dinasti Umayyah menunjukkan
bahwa pada masa itu umat islam sudah mencapai tingkat peradaban yang tinggi.
Hal itu menjadi cikal bakal perkembangan ilmu pengetahuan yang ada saat ini.
Oleh karena itu, umat islam selayaknya berusaha keras untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan sehingga islam kembali mencapai kejayaan.
B.
Saran
Demikianlah
isi dari makalah kami, yang telah kami susun agar pembaca mudah untuk memahaminya. Semoga
makalah ini memberi motivasi agar manusia khususnya muslim
selalu mencari ilmu hingga akhir hayat amiin.
DAFTAR
PUSTAKA
T. Ibrahim, Darsino, Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam 1.
Badri Yatim, 2006. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
https://ansarbinbarani.blogspot.co.id/2015/11/dinasti-bani-umayyah.html
[1] Darsono.T.Ibrahim, Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam 1,.Hlm.
66
[2] Ibid. Hlm. 65
[3] Ibid. Hlm.68
[6] Badri
Yatim, 2006. Sejarah Peradaban Islam
Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm. 43-44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar